Dari Wablas Kami Berguru dan Mendulang Ilmu

Ing plungguhan omongan kudu sing mapan,
ngêrti êmpan gak kewran ngrakit omongan,
maring liyan nggayêngke nggone jagongan.
Ngomong gamblang crita kang asung pêpadhang, anggêgêsang sêmangate sanak kadang,
dijak nggalang mbangun jaman sing gêmilang.
SBS XXI: 1025
Preketek…preketek…demikian bunyi tanda pesan WhatsApp (selanjutnya WA) masuk. Lagi-lagi belasan atau ratusan, bahkan mungkin ribuan percakapan masuk dari banyak WhatsApp Group (selanjutnya WAG) di android kami. Seperti biasa, dengan malas kami buka satu-per-satu tanpa membacanya. Bukanya menganggap tidak penting, tapi kadang kami pikir kurang kerjaan. Ha-ha.
Di suatu hari, kami pernah sengaja membaca WAG satu-per-satu dari pagi. Hanya membaca saja, tidak ikut menanggapi percakapan. Saat itu kami seolah tersihir masuk ke dalam banyak percakapan. Sampai tak terasa waktu sudah melewati jam makan siang dan baru kami sadari tak melakukan pekerjaan apa-apa selama itu. Ladhalah, ternyata lama sekali waktu yang diperlukan untuk hanya sekedar mengintip dan membaca serampangan percakapan di WAG.

Tak Kenal, Tapi Kok Sudah Merasa Dekat Sih
Duduk berjam-jam di meja kerja dan sesekali membuka berbagai medsos, termasuk fitur WA, adalah kerjaan selingan kami sebagai abdi dalem di Badrasanti.or.id. Maklumlah, pekerjaan utama kami sebagai kuli pembuat pintu-jendela dan kusen berbahan uPVC, aluminium, dan kayu jati sedang menikmati semilir angin ditemani sepi. Ha-ha.
Tahu kan kenapa?
Ini karena kita sedang disapa alam mempersilakan Corona membersihkan semesta (halah bilang aja mendadak nganggur. Sok memperhatikan guru lagu-guru wilangan. Yeee…).
Nah suatu hari, duh lupa. Barangkali sebulanan yang lalu, tanpa sengaja kubaca percakapan di WAG tentang seminar online berjudul Wablas. Jelas, kami tak mudeng babar gelas, eh blass, tentang kelas yang digagas. Tapi serasa ada semacam pengaruh teluh alias guna-guna yang dengan sadar kami klik untuk bergabung kelas Wablas itu. Namanya Wablas 2.
Beda dengan yang biasanya hanya kami read. Kami mulai mengintip isi percakapan di Wablas 2. Ladhahlah, kok agaknya kelas berat (badannya. Wek...). Hampir-hampir tak kami jumpai penghuni WAG yang kami kenal. Namun sesudah sore hari kami buka kembali. Tampak ada beberapa nama yang kami kenal dekat. Ada pula yang kami kenal agak renggang. Hu…
Pertama ada Prof (aamiin) Goenawan A. Sambodo. Kami jumpa pertama kali di Borobudur Writers and Cultural Festival 2017. Jelas tempatnya di Borobudur kan. Kedua juga masih di Borobudur, saat ada Borobudur International Seminar tahun 2018. Kami sempat berwawancanda beberapa hal tentang aksara dan bahasa Jawa. Selain itu, Mbah Goen, demikian biasanya anak Temanggung-an menyapa, adalah sosok inspiratif tak terkira bagi muda-mudi di sana. Kedua ada Mas Tri Subekso, arkeolog yang ternyata sohibnya Mas Rukadi Achmadi, Wartawan Suara Merdeka yang mengagumi Pakdhe Kami. Pak Yo Buku di Kinibalu, Semarang-sohibnya Pramoedya (Cie…). Mas Tri Subekso kami kenal saat memandu Jelajah Sejarah Hindu Buddha Semarang sekitar akhir Oktober 2019 lalu. Kami juga sering ngintip sampai trimbilen jejak digital mas Tri Subekso di Embah Gugel buat bahan referensi. Ketiga ada Mbak Maria dari Komunitas Kandang Kebo, Jogjakarta. Kami belum pernah berjumpa dengan beliau. Tetapi sering ha-ha-hi-hi melalui akun facebook. Selain itu, ada Mas Dokter Sudi dan Mas Nehemiah Pasangge. Dua nama yang terakhir ini kami kenal dari WAG Viranagari. Namun belum sempat jatuh cinta, karena belum pernah jumpa. Ha-ha-ha. Lainnya, duh, sungguh-sungguh nama-nama besar penuh kekaguman nan cetar membahana. Betapa tidak? Mereka ini ternyata arkeolog, sejarawan, dokter, dan profesi nan wow lainnya yang beda jurusan dimana kami pernah sekolah rakyat jelata (sekolahannya di gubug bambu, di bawah pohon mengkudu).
Masak Sih Dekonstruksi Jacques Derrida?
WAG Wablas akhirnya kami ikuti hingga sesi ke-4 dengan beragam topik asyik dan menarik. Gila, biasanya, mata kami yang minus-silinder ini ogah lama-lama membaca WAG. Ga kuat, suka pusing. Apalagi menjelang tagihan bulanan. He-he.
Wablas ini seperti “Dewa Penolong” yang menuntun kami. Yah, kami adalah kakak beradik tengil dengan latar belakang studi yang agaknya tak terkait langsung dengan WAG. Pertama, Dhammatejo Wahyudi, si kakak, pernah belajar di Akademi Bahasa Asing, jurusan Bahasa Inggris. Sempat juga mencicipi Fakultas Hukum Undip. Sedangkan Gusti Ayu Rus Kartiko, si adik, studinya di Fakultas Psikologi.
Ladhalah, mau pamer yah?
Payah!
Tunggu dulu dong…
Pengetahuan yang kami peroleh (padahal sering bolos kuliah). Sudah tentu berbeda jauh dengan tema Wablas yang umumnya terkait sejarah, arkeologi, dan sejenisnya. Sementara saat ini, kami kakak beradik, yang punya julukan “begal cinta dari pantai utara” ini sedang melakukan karya nan Wow (halah, mulai narsis).
Yah, melalui Yayasan Badra Santi yang kami populerkan dengan nama Badra Santi Institute. Dengan dukungan teman-teman muda dari berbagai kalangan. Dalam waktu dekat ini akan menerbitkan tujuh judul karya tulis pendahulu kami dari Pantura. Karya tulis dimaksud pernah terbit tahun 1967, 1975, 1985, 1989, dan 1996. Namun, sebelum karya tulis itu kami terbitkan ulang. Maka kami perlu membuat semacam ulasan pengantar agar terlihat telah memenuhi harapan leluhur kami yang menulis. Ha-ha.
Hal ini karena sejak tahun 2012 lalu, kami membaca, membedah, memeriksa, meneliti, dan mencoba mempopulerkan tujuh judul karya Pantura. Semuanya mengarah pada satu judul pakem, Sabda Badra Santi. Enah.., berhubung latar belakang pendidikan kami yang begono di atas itu. Maka kami perlu banyak referensi dan perlu banyak guru pembimbing (lebih pas disebut nyari kepekan dan bisikan dari sana-sini. Ha-ha-ha).
Semula, kami banyak dibantu teman-teman Civitas Akademika di UKM Kesenian Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang. Kerja akademik itu dipimpin Dr. Widodo Brotosejati yang baik banget membantu kami. Selain itu, berkat kerja ontologi sastra Sabda Badra Santi. Pada tanggal 26 Juli 2018 yang lalu, kami sempat meraih Penghargaan Anugerah Pustaka Nusantara 2018 dari Perpusnas. Hore…
Padahal, semua yang kami lakukan jauh dari keseharian kami. Maksudnya studi dan pekerjaan sehari-hari. Apalagi kami bukan akademisi. Bahkan amunisi untuk berkarya saja dari kantong sendiri, plus dukungan beberapa pihak nan welas asih dari sana-sini. Maka kemudian kami jadi ingat teori Dekonstruksinya Mas Derrida, bahwa sesuatu itu “ora kudu, ora mesti…”. He-he-he. Demikian pula dengan mengikuti Wablas 2 sampai 4. Kami yakin, pasti ada sesuatu yang sedang bekerja menurut teorinya Mas Derrida itu. Iyes…
Apologi, Rekonsiliasi, dan Indonesia Gemilang
Karya tulis yang kami bedah dan segera terbit bergantian ini rada nyerempet-nyerempet bahaya. Maksudnya, narasi isi karya tulis dimaksud, sedikit bersinggungan dengan detik-detik bersejarah bergantinya wajah peradaban Jawa. Dari peradaban Siwa Buddha di akhir zaman Wilwatikta, menuju Era Islam-Demak. Enah…kan…. Cie, mulai serius nich ye….
Jadi dengan adanya kelas Wablas yang kami ikuti dari seri kedua hingga keempat itu. Sungguh sangat membantu kami meluaskan wawasan. Utamanya untuk bersikap wajar dan netral tidak memihak. Lalu yang terpenting, kami meneguhkan keyakinan. Bahwa ulasan pengantar yang sedang proses editing itu tidak menyuguhkan polemik dan konflik. Namun sebuah tesis apologi sejarah, suatu antitesis tentang saran rekonsiliasi budaya, dan suatu sintesa “Indonesia Gemilang”.

Cara Pandang
Apa yang membuat kami kemudian merasa mendapat banyak guru dan mendulang ilmu? Wawasan nan luas, itu jawabannya. Yah, diskusi yang berkembang kejam dan bengis karena kalau lewat 15 menit saja sudah menumpuk ratusan percakapan dan perang stiker. Ternyata memuat banyak tambahan wawasan pengetahuan yang kami perlukan selama ini.
Untuk meraih pengetahuan seputar wawasan nusantara seluas seminar Wablas. Barangkali, kami harus ikut kuliah yang perlu menghabiskan banyak waktu, biaya, dan tenaga bila ingin tahu bagaimana suasana perkuliahan di jurusan arkeologi, sejarah, dan sejenisnya itu. Namun beruntunglah, sisi baik Covid-19 memberi kami berkesempatan menimba ilmu dari para mpu yang berguna buat memoles karya tulis kami menjadi lebih bermutu. Ha-ha.
Lagi pula, “kuliah” Wablas bisa kami lakukan santai, sambil ngopi, dan nggodain orang puasa (ehm…kami kan puasanya beda. He-he). Plus hemat biaya, karena numpang sambungan Wifi tetangga. Yeee…
Harapan
Akhirnya, kami sampai pada ujung tulisan yang baru sempat diketik ini. Kami, kakak beradik-kandung ini sangat bersyukur bisa rebutan kursi masuk kelas Wablas. Kami ucapkan terima kasih banyak kepada para mpu guru nan mumpuni yang telah berbagi ilmu dan download-tan buku-buku free–ora tuku. Kami berharap, sudilah dibuka kembali seri Wablas berikutnya yang lebih wow dan menarik.
Ini karena peradaban kelas kuliah yang mahal, banyak biaya, dan lama itu bisa tergantikan sementara oleh berkah Corona. Ya, memang sih, karena nggak tatap muka. Kami jadi ga bisa ngembat penganan kantin ala Darmaji (Dahar lima, bayar siji). Plus tak bisa lirak-lirik adik kelas yang kece dan layak dijahili. He-he-he.
Cukup yah. Kami pikir, ini mah bukan essay. Tapi Surat Cinta buat Mbak Yeni Mada, Mas Cuk Riomadha, Mas Reza, Mbak Dhewy, Simbok, Mas Wembias di Papua, dan banyak lagi narasumber yang uwuw….
Semogalah ada kesempatan untuk bersua dengan para Mpu Semuanya. Smoga para mpu guru selalu sehat, bagas, waras, giras, trengginas, begja rahayu nir ing sambekala. Terima kasih.
Penulis:
Gusti Ayu Rus Kartiko dan Dhammatejo W.
Peneliti Amatir di Badra Santi Institute

You May Also Like

Lungguh Sila Kok Ngasi Klumah, Kejengkang Ngathang-Athang
February 18, 2020