LATAR BELAKANG BERDIRINYA BADRA SANTI INSTITUTE (01)
Telah tercatat dalam sejarah dengan deretan literasi dan jejak artefaktual yang melimpah, bahwa pada pertengahan abad ke-15, telah terjadi perubahan besar corak budaya Jawa. Suatu perubahan wajar karena tantangan zaman dan persinggungan berbagai suku bangsa dan budaya yang datang ke wilayah Nusantara. Ketika itu, budaya yang sebelumnya sudah ada adalah bercorak Siwa dan Buddha. Lalu kemudian muncul kebudayaan baru bercorak Islam, dan memperkaya khasanah budaya bangsa Indonesia. Kedua kutub budaya tersebut; Siwa Buddha, dan Islam, kemudian saling berakulturasi dan memasuki era kebudayaan yang kemudian disebut dengan era Jawa Baru.
Pada era perubahan tersebut, munculah salah satu penanda berakhirnya era budaya Jawa Tengahan. Salah satunya bahkan mungkin satu-satunya penanda itu adalah Sastra Badra Santi. Kelahiran sastra ini dilatarbelakangi dorongan untuk menjembatani para pemeluk Buddha yang masih ingin mempertahankan keyakinannya. Saat itu, Buddha Dharma atau Buddha Śāsana sudah tidak memiliki perlindungan dari raja atau penguasa yang ada. Selain itu, Sangha (pasamuan wiku) telah pula surut, lalu punah.
Ini karena penahbisan wiku baru memerlukan syarat dan ketentuan cukup ketat. Seperti harus adanya: (1) Vatthu-sampatti-berkenaan dengan kualitas pribadi calon wiku; (2) Parisa-sampatti – berkenaan dengan jumlah para wikunya; (3) Sima-sampatti – berkenaan dengan tempat pentahbisan yang telah ditetapkan batasannya (sima); dan (4) Kammavaca-sampatti-berkenaan dengan pernyataan penerimaan.
Sastra Badra Santi terdiri dari 27 bab yang memuat ajaran budi pekerti luhur bersifat universal. Sastra yang terangkum dalam tembang indah ini dapat dilantunkan setiap orang, khususnya pengguna bahasa Jawa. Badra Santi digubah oleh Mpu Santi Badra mulai tahun 1479 sebagai acuan para penganut Buddha di pesisir utara, untuk mengisi kekosongan pembabaran Buddha Dharma.
Secara metrum, Badra Santi tidak termasuk dalam jenis sastra Jawa Kuno atau Sekar Ageng, (kakawin). Badra Santi juga tidak termasuk dalam jenis Jawa Baru atau Sekar Alit (macapat). Badra Santi mempunyai corak metrum sendiri yang diduga masuk ke dalam kelompok metrum Jawa Tengahan (kidung).
Muda-Mudi Buddhis dari Jawa Tengah saat berkunjung ke kediaman Raden Panji Ir. Winarno, Dipl. H.E., putra pertama Pandita Raden Panji T. Hadidarsana (Mbah Guru) di Jl. Kawi, Semarang (Dok. Foto Ngasiran, Buddhazine.com)