Carita Buddha Dharma Nusantara

Kisah Syahdu Ibu Guru Dari Hutan Kedungjati, Untuk Pemuda Buddhis Di Tanah Air

Ibu Guru Hesti menyeberang jembatan Kali Tuntang yang menghubungkan Kab. Grobogan dan Kab. Semarang. Ia pergi mengajar di SMK Negeri 1 Bancak sekaligus menyerahkan bantuan beasiswa dari Ehipassiko Foundation. Jembatan penghubung satu-satunya ini dibangun atas jasa Wiku Vajragiri yang kini keadaannya telah rusak parah

“Hanya ada satu yang dapat merubah kemiskinan, yaitu pendidikan”, Pandita Ramadharma S. Reksowardojo, Penyusun ulang Sabda Badra Santi, Sastra Buddha dari Pantura tinggalan Wilwatikta. 

Kali ini, Badrasanti.or.id. ingin menampilkan sosok seorang guru agama Buddha yang terbilang luar biasa untuk ukuran usia dan luasan pengabdiannya. Meski sebenarnya Guru yang kami maksud itu, semula enggan dan malu untuk dituliskan kisah pengabdiannya. Ini karena prinsip hidupnya terbilang anggun.

Menurutnya, pengabdian dalam Buddha Dharma adalah hak, bukan kewajiban. Apalagi buat para pemuda Buddhis di manapun berada. Sejarah itu bukan hanya milik para pendahulu yang telah sepuh lanjut usia. Tetapi pemudalah yang wajib merawat dan meneruskan kisah mereka. Agar Dharma terus menyala di nusantara dan memberi manfaat welas kasih kepada manusia dan semesta.

Bu Guru Hesti saat mengisi bimbingan belajar yang ia lakukan 16 kali dalam sebulan

Keluarga Tani Bermental Maju Dalam Ilmu
Ibu Guru ini namanya Hesti Gayawati. Dalam kisah pewayangan, hesti adalah nama lain dari satwa gajah. Ia adalah satwa simbol pengetahuan, kesetiakawanan, welas asih, dan kedewasaan. Selain itu, sosok gajah adalah perwujudan dari Ganesha, Dewa Ilmu Pengetahuan dalam Siwa Sidhanta. Gaya adalah nama hutan dimana Siddhārtha Gautama meraih pencerahan agung. Wati jelaslah menunjukkan sifat feminim, kehalusan, dan kasih sayang. Dahulu, di era Majapahit, nama satwa tertentu yang merujuk kisah Jātaka disematkan pada sosok berpengaruh di zamannya. Sebut saja misalnya Raja Hayam Wuruk, Patih Gajah Mada, Lembu Sora, Ranggalawe, dan beberapa nama yang lain.  

Asma kinarya japa-nama memuat harapan (doa), demikian kata pepatah. Hesti Gayawati adalah gadis berpengetahuan luhur yang berpembawaan tenang dan setia kawan kepada sesama. Meski seorang wanita, semangatnya tak kalah dengan saudara prianya. Ini karena di dalam darahnya mengalir semangat Pangeran Tirtayudha, sesepuh cikal bakal Desa Prigi.  

Bu Guru Hesti, demikian biasanya upāsaka upāsikā dan murid-murid memanggilnya. Ia anak kedua dari pasangan Bapak Idid dan Ibu Sugiati yang lahir tahun 1988. Bu Hesti adalah anak yang lahir dan besar di kedalaman hutan Kedungjati, Grobogan. Tepatnya di Desa Prigi, tak jauh dari air terjun Cawang di Dusun Pepe. Semula para penduduk tinggal di daerah hutan Gobeng, sebelum kemudian pindah ke sekitar daerah dimana terdapat sebuah sumur kuna atau prigi. Legenda setempat mengisahkan asal-usul desa yang hingga kini terbilang masih pelosok, karena empat arah jalan masuknya belum tersentuh aspal.  

Dahulu terdapat pelarian bangsawan Majapahit yang kemudian berdiam di rimbunnya hutan Kedungjati. Ia bersama pengikutnya membuka lahan dan mendirikan pemukiman sederhana hingga beranak-turun. Untuk mengenangnya, para penduduk ajeg melakukan dharmayatra atau nyadran (berasal dari kata sradhasaddhā) ke punden leluhur Prigi yang bernama Mbah Pujud Tirtayudha.

Selain nyadran, secara adat, sebagian besar penduduk desa juga masih menjaga tradisi aboge di bulan Suro. Ini karena sejak dulu, para penduduk yang memeluk kejawen-kebatinan menantikan datangnya Lebaran ing nedhenge Purnama – Hari Raya di bulan purnama.

Dalam perkembangannya, Desa Prigi kini terbagi menjadi 5 dusun. Yaitu Desa Prigi Tengah, Prigi Timur, Ngrapah, Sambirata, dan Pepe. Para penduduk dusun rata-rata adalah petani penggarap perkebunan. Beberapa di antaranya merantau sebagai buruh di Semarang dan sekitarnya, sesudah melewati musim tanam dan panen.

Gambar citra satelit pemukiman Desa Prigi (lingkaran kuning) dan sebagian jalan pintasan bebatuan sepanjang +/- 14 km menuju pertigaan Ngombak, Kedunjati (lihat tanda panah warna putih). Diambil dari: https://www.google.com/maps/place/Prigi,+Kedungjati,+Kabupaten+Grobogan,+Jawa+Tengah/@-7.1787804,110.5813015,1522m/data

Perjuangan Menuntut Ilmu
Merujuk James Dananjaya dalam bukunya berjudul Folklor Indonesia (1994). Leluhur Jawa dahulu tidak sembarangan dalam memberi nama seseorang atau tempat. Budaya Jawa dikenal bijak dalam memaknai suatu kisah rakyat atau folklor. Sikap berpikir maju dan positif di balik filsafat Jawa yang terkandung di dalam folklor itu telah mendahului konsep berpikir psikologi positif ala Barat. Seperti nama Majapahit yang berasal dari buah maja yang pahit. Maka penduduknya dikenal gigih dan tahan penderitaan (kepahitan) untuk mencapai kemakmuran negara (Desawarñana). Ada desa bernama Sukamaju, penduduknya suka akan kemajuan. Ada Sukatani, penduduknya rajin bertani, dan lain-lain.  

Demikian pula dengan nama Desa Prigi yang terkait paut dengan kisah pendirinya, Pangeran Pujud Tirtayudha. Prigi berarti sumur tua. Tirta adalah air, dan yudha adalah pahlawan. Maka tak heran bila rata-rata anak-anak Desa Prigi bersemangat bak pahlawan dalam menimba ilmu. Betapa tidak, hingga hari ini saja, Prigi benar-benar bagaikan desa yang sangat terpencil dari peradaban modern. Di sana hanya ada sekolah SD Saja. Untuk melanjutkan sekolah ke tingkat SMP, semua anak harus sekolah di luar desa yang jauhnya belasan kilometer. Hal ini di alami Hesti Gayawati bersama teman-teman dan para pendahulunya. Setelah lulus dari SD Negeri 1 Prigi, tahun 2000. Hesti melanjutkan sekolah di SMP PGRI 2 Kedungjati (sekarang sekolah ini tutup karena kekurangan murid).  

“Pada tahun 2000 sampai 2003 waktu sekolah di SMP, setiap Jam 04.00 WIB saya harus sudah bangun. Jam 05.00 WIB harus sudah mulai jalan kaki cepat bersama teman-teman menuju pertigaan Desa Ngombak yang jauhnya sekitar 14 km. Kami harus tiba di jalan besar sebelum Jam 06.00 WIB. Sebab bila terlambat sedikit saja, akan ketinggalan angkutan umum dan kami harus jalan kaki. Ini karena saat itu kendaraan sangat jarang sekali. Sementara keadaan saya dan teman sebaya sama, terbatas ekonominya. Jangankan punya sepeda motor, bisa sekolah dan makan saja sudah bersyukur. Tapi namanya saja anak-anak, kami tetap saja suka bercanda dan senang-senang saja tiap berangkat sekolah”, ujar Hesti panjang lebar mengenang zaman awal milenial.

Di tahun 2000 itu, penduduk kota sudah memasuki teknologi internet. Namun di Desa Prigi, listrik saja baru masuk tahun 1997. Kendaraan roda empat pun hanya ada satu orang saja yang punya. Jenisnya Suzuki Carry yang digunakan khusus untuk mengangkut ibu-ibu menjual sayur dan belanja ke Pasar Bringin di Kabupaten Semarang. Sesekali Hesti ikut piknik numpang mobil ini. Meski harus duduk jongkok berjubel, bahkan agak berdiri nggandul atau pegangan di pintu. Pasar Kedungjati memang lebih dekat dari Prigi, tetapi ibu-ibu lebih mantap pergi kulakan ke Pasar Bringin. Ini karena dagangannya lebih lengkap dari Pasar Kedungjati.

Lebih lanjut Hesti mengisahkan, “Ada juga pengalaman tak terlupakan. Saat sampai jalan besar Ngombak setelah menempuh jalan kaki sejauh 14 km. Rombongan kami tak mendapat angkutan umum. Kadang teman-teman sebaya menyerah, karena jelas sudah terlambat masuk sekolah. Akhirnya mereka pulang tak jadi berangkat sekolah. Lagi-lagi saya nekad saja. Saya bersama seorang teman yang bersekolah di SMP Negeri 1 Kedungjati bertekad tetap berangkat. Sampai di sekolah menjelang jam 09.00 WIB dengan sekujur badan gembroyos mandi keringat. Meski demikian, para guru tetap mempersilakan kami masuk sekolah, karena memahami nasib kami dari Desa Prigi. Mengetahui hal itu, di hari lain teman-teman beramai-ramai jalan kaki saat ketinggalan angkutan umum. Saat itu mulai saya sadari, ternyata semangat positif itu juga mudah menular”.

Perjuangan penuh welas asih Ibu Guru Hesti demi merawat generasi muda Buddhis

SMA, Awal Kisah yang Menentukan Jalan Hidupnya
Lulus SMP, Hesti Gayawati melanjutkan ke jenjang SMA di SMA Negeri 2, Ungaran, Kabupaten Semarang. Kali ini, perjuangan sekolahnya terbilang lebih baik dari sebelumnya. Atas kebaikan Pakdhenya yang bernama Sarwi Dwi Prayitno, Hesti menumpang tinggal di rumah Pakdhenya di Dusun Siroto, Desa Candirejo, Ungaran. Tepatnya di dekat Kampus Akper dan Akbid Ngudi Waluyo.

Selama tinggal di Pakdhenya yang juga berasal dari Desa Prigi, ia belajar mandiri, karena hanya pulang dua minggu sekali. Di bangku SMA jugalah, Hesti mulai sadar nilai harga diri dan jati dirinya sebagai seorang upāsikā. Hal ini setelah Hesti menjumpai, bahwa ternyata ia adalah murid pertama sekaligus murid satu-satunya yang beragama Buddha. Sejak SMA Negeri 2 Ungaran berdiri tahun 1984, atau pengembangan dari SMA Negeri 1 Ungaran, yang berdiri tahun 1965. 

“Di awal sekolah, saya mengalami kesulitan mendapatkan pelajaran agama Buddha, karena belum ada guru pengampunya. Maka agar bisa mendapatkan nilai, saya diarahkan sekolah untuk mengikuti pelajaran agama Islam yang diajar Pak Mashudi. Syukurlah, akhirnya saya bisa sekolah tenang dan mendapatkan nilai agama sampai naik ke kelas 3. Namun di kelas 3 guru agama Islamnya ganti Pak Abu Hanafi yang agaknya corak karakter pribadinya berbeda dengan guru sebelumnya. Ia tetap mengizinkan saya mengikuti pelajaran agama Islam, namun diharuskan membaca syahadat dan masuk agama Islam. Alasannya, di kelas 3 akan ada ujian praktik sholat. Mempertimbangkan persyaratan itu, dengan tegas saya menolak tawaran pindah agama dan mencoba memberikan pengertian yang baik tentang kebebasan beragama kepada beliau. Setelahnya, saya pulang ke Prigi dan kebetulan bisa berjumpa Pak Susono, guru agama Buddha di bangku SD dulu. Berkat jasa beliau, saya dikenalkan dengan Ibu Prihatiningsih, Penyuluh PNS Agama Buddha di Kabupaten Semarang. Kebetulan, kantor beliau ada di depan sekolahan. Singkatnya, atas bantuan Bu Prihatiningsih, saya bisa mendapatkan pelajaran agama Buddha di semester I, kelas 3 SMA”, urai Hesti panjang lebar atas pengalaman berharganya.

Meski kadang murid yang datang hanya sedikit dan dapat dihitung dengan jari. Bu Guru Hesti tetap tekun mendampingi

Tekad Bulat Menjadi Abdi Dharma di Desa
Hesti menyadari, bahwa semua agama pada dasarnya baik dan mempunyai sifat yang sama, cinta kasih dan kedamaian. Namun untuk berpindah agama karena suatu keadaan yang bukan atas kesadaran sendiri, itu persoalan. Maka sejak peristiwa di awal bangku SMA itu, Hesti mulai membulatkan adhiṭṭhāna.

Tekad itu bermula saat Hesti mengikuti ujian nasional di semester II SMA. Ketika hari jadual ujian agama berlangsung dan semua siswa mendapat lembaran soal ujian, Hesti belum mendapatkan soal. Ia coba tanyakan ke pengawas, mengapa belum mendapatkan soal. Jawabannya membuat Hesti hampir pingsan. Ternyata sekolah belum mendapatkan naskah ujian dari guru agama Buddha, seperti pada semester pertama. Sontak Hesti berlari menuju kantor Ibu Prihatiningsih untuk menanyakan soal ujian. Sesudah berjumpa dengan beliau, Hesti lemas hampir ambruk. Soal ujian yang ditunggunya baru saja dibuat dan akan diantarkan ke sekolah. Meski sedih karena waktu ujian telah berjalan dan teman-teman lainnya sudah mengerjakan soal ujian masing-masing, Hesti merasa lega. Ia akhirnya tamat sekolah di bangku SMA dengan saddhā tetap teguh. Peristiwa demi peristiwa itulah kemudian yang membuat Hesti bertekad menjadi guru agama Buddha. Apalagi Hesti seperti mendapat ibu baru yang selama itu ngayomi dan ngeyemi dalam meniti ilmu.

Urung Jadi Dokter, Mantap Menjadi Guru Agama Buddha
“Tak bermaksud meninggikan diri, sejak kecil sepertinya saya bukan murid yang terbelakang. Artinya, saya punya kesempatan sekolah dan meraih prestasi yang sama dengan anak-anak yang lain. Bahkan saya yakin, dengan dorongan dan dukungan kuat dari berbagai pihak. Saya pasti dapat mewujudkan cita-cita saya, jadi dokter. Namun dengan pengalaman menghadapi keadaan sulit dan mengharuskan pindah agama dan masih sangat kurangnya guru agama Buddha di Indonesia. Saya mengalami titik balik pemahaman. Semenjak itu saya beradhiṭṭhāna, jangan sampai adik-adik (generasi penerus) saya nanti mengalami nasib seperti yang pernah saya alami. Mereka harus mendapatkan hak untuk menerima pelajaran agama sesuai agama yang dianutnya. Maka kemudian, saya memutuskan untuk menjadi guru agama Buddha. Untuk itu saya rela melupakan cita-cita menjadi dokter”, demikian penjelasan Hesti dengan mantap.

Apa yang disampaikan Hesti adalah suatu ikrar pengorbanan. Bahkan mungkin tak akan pernah diucapkan oleh anak-anak pengurus yayasan, dosen, hingga karyawan sekolah tinggi agama Buddha di manapun. Ini dikarenakan sangat jarang ada pengurus yayasan dan atau dosen-karyawan, yang mau mengarahkan anaknya sendiri kuliah menjadi guru agama Buddha. Sebab kebanyakan di antara mereka sendiri dihinggapi rasa tidak percaya diri. Bahwa jadi guru, apalagi guru agama Buddha itu masih madesur (masa depan suram). Lebih baik sekolah yang lebih mberasi dan ngayani sekaligus membanggakan nama orang tua.  

Lebih lanjut Hesti meneruskan, “Dengan pertimbangan tidak ingin membebani orangtua dan agar biayanya bisa dialihkan untuk sekolah adik-adik. Tahun 2006, setelah lulus SMA, saya mencari informasi tentang perguruan tinggi agama Buddha bermutu yang biaya kuliahnya ringan, syukur ada beasiswa, dan hemat biaya hidupnya. Tak lama kemudian, saya menemukan informasi perkuliahan di STAB Syailendra yang menawarkan beasiswa unik. Bila mahasiswa bisa meraih IPK semester minimal 3.0, maka biaya kuliah dibebaskan alias gratis. Program beasiswa itu memantik semangat saya untuk berani mencoba. Dengan izin dan restu orangtua, saya kuliah di STAB Syailendra dan tinggal di rumah kos atas biaya orangtua. Pada semester 1, saya belum berhasil karena IPK-nya hanya 2.9. Setelah itu saya berikrar lebih kuat lagi dan tak ingin mengecewakan orangtua. Akhirnya dengan kesungguhan belajar, saya dapat meraih IPK di atas 3.0 mulai semester 2 hingga semester 8 atau sampai lulus. Pada tahun 2010 saya lulus dan diwisuda sebagai sarjana agama Buddha dengan IPK 3.29. Waktu itu saya merasa bahagia dan puas banget…”.   

Beberapa murid dari Wihara Dharma Maya dan Wihara Dharma Karuna di Kecamatan Tegowanu

Terjun di Masyarakat
Menjadi guru agama Buddha adalah cita-cita yang sudah dimantapkan Hesti Gayawati sejak kelas 3 SMA. Di tengah-tengah menempuh kuliah di STAB Syailendra, Hesti sudah mulai menerjunkan diri pada pelayanan masyarakat Buddhis. Ia sempat mengajar di Sekolah Minggu Buddhis (SMB) Buddha Metta di Watu Agung, Tuntang. Hesti cukup terharu ketika Pak Narto, Ketua Pengurus Wihara setempat mengganti ongkos transport sebesar Rp. 15.000,- per sekali mengajar. Ganti ongkos transport itu adalah bentuk keseriusan dan kesungguhan upāsaka upāsikā dalam turut memajukan pendidikan agama Buddha. Dengan demikian, para guru bukan hanya puas telah mendapatkan pengalaman mengajar. Namun guru agama Buddha bisa meningkatkan mutu diri dengan terus membaca buku dan mengikuti perkembangan teknologi yang sudah tentu memerlukan biaya.  

Sekarang, Hesti Gayawati telah menjadi guru di lapangan pengabdian yang nyata. Ia mengajar agama Buddha di beberapa sekolah formal, yaitu di SD Negeri 1 Desa Prigi, SMP Negeri 1 Kedungjati, dan SMK Negeri 1 Bancak. Semua ia lakukan dengan mengajar tatap muka dan datang ke sekolah-sekolah tersebut sesuai jadual. Selain itu, ia juga membantu menyediakan soal-soal ujian bagi murid beragama Buddha di SMA Negeri 1 Gubug dan SMK Negeri 1 Karangawen, Demak. Hal ini terpaksa ia lakukan, karena jadual mengajarnya telah penuh. Di sekolah-sekolah formal ini, Hesti Gaya Wati masih berstatus sebagai guru tidak tetap yang bergantung pada honor sesuai kemampuan sekolah.

Semangat murid-murid Bu Guru Hesti mengikuti pelajaran agama Buddha

Guru yang Terus Bergerak
Di luar mengajar sekolah formal, Hesti Gayawati terus saja bergerak tanpa henti untuk kemajuan pendidikan agama Buddha di Grobogan. Ia mengajar SMB di tiga wihara di sejumlah kecamatan berbeda yang terpisahkan jarak 20-an km dari tempat tinggalnya. SMB dimaksud adalah SMB Gavidhati di Wihara Dharmajati, Desa Prigi, Kecamatan Kedungjati; SMB Wihara Dharma Karuna, di Desa Tegowanu Wetan dan SMB Wihara Dharma Maya di Desa Tlogorejo, dua SMB terakhir berada di Kecamatan Tegowanu.  

Tak berhenti di kegiatan dunia pelajaran agama Buddha. Hesti terus belajar dan meluaskan pengetahuan agar dapat semakin baik dan meningkat kebijaksanaannya. Ia merasa beruntung dan bersyukur bisa berjumpa dan menjadi bagian dari Ehipassiko Foundation. Sebuah lembaga sosial bercorak Buddhis yang didirikan MoM Handaka Vijjananda dan banyak melakukan aksi Dharma Humanistik.

Mengenai hal ini, di penghujung wawancara, Hesti menerangkan, “Saya bisa seperti ini karena dukungan dan gemblengan MoM Handaka Vijjananda. Beliau selalu mengingatkan saya untuk terus mengajarkan welas asih tanpa pilih kasih. Setiap hari, saya membacakan tekad Bodhi citta. MoM Handaka adalah salah satu tokoh inspiratif dan favorit saya”.  

Hesti yang kini berusia 32 tahun telah berumah tangga dengan Warsito, dan dikaruniai dua orang putra. Tak terbayang bagaimana ia mengatur waktu di tengah kesibukan mengajar, pelayanan sosial, keluarga, dan pribadi. Wanita yang setiap hari menempuh belasan hingga puluhan kilometer untuk mengajar ini, menjadi Abdi Dharma dengan segala keterbatasannya.

Bila seorang Hesti Gayawati saja mampu bergerak membawa perubahan untuk masyarakatnya. Apalagi para pemuda Buddhis di perkotaan yang lebih lengkap sarana prasarananya. Terlebih bila para pemuda Buddhis di seluruh Indonesia segera guyup bergandengan tangan bergerak bersama. Kira-kira, seperti apa dahsyatnya perubahan yang akan terjadi?

Penulis: Dhammatejo W.
Editor: Metta S.
Foto: Istimewa

Share it!
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *