
Cah Nom Buddhis Ndeso, (Don’t) Rest in Peace yah!
Kabupaten Pati dikenal sebagai bagian dari Majapahit yang setia pada Sang Narendra Wijaya. Dalam prasasti Tuhannaru, terdapat delapan lempengan baja bertuliskan huruf Jawa Kuna. Prasasti yang kini disimpan di museum Trowulan itu, pada lepeng keempat, terdapat tulisan yang berbunyi:
“Raja Majapahit, Jayanegara menambah gelarnya dengan Abhiseka Wiralanda Gopala pada tanggal 13 Desember 1323 M. Ia didampingi patih setia dan berani bernama Dyah Malayuda dengan gelar “rakai”. Abhiseka itu bersamaan waktunya dengan pisuwanan agung yang dihadiri kadipaten-kadipaten di pantai utara Jawa Tengah bagian Timur. Salah satunya adalah Tambranagara, adipati dari Kadipaten Pati.
Peristiwa pisuwanan agung di istana Majapahit pada 696 tahun yang lalu itu seolah terulang kembali. Namun kali ini bukan terjadi di depan raja Majapahit. Sanak turun para adipati di pesisir utara Jawa Tengah bagian Timur itu berkumpul pada Sabtu pagi hari (1/6/2019), di Kabupaten Pati. Tepatnya berada di halaman belakang Wihara Dhamma Metta yang terletak di RT 01, RW 04, Desa Bleber, Kecamatan Cluwak. Mereka adalah anak-anak muda remaja usia sekolah dari beberapa wihara se-eks Karesidenan Pati. Seperti dari Rembang, Blora, Grobogan, Kudus, Jepara, dan Pati sendiri. Sejak pagi hingga malam, kehadiran mereka yang menumpang kendaraan roda empat berbagai jenis. Hilir mudik memecah keheningan Desa Bleber dan mengobarkan semangat holopis kuntul baris.
Selain berdasarkan prasasti Tuhannaru, keempat daerah di eks-karesidenan Pati tersebut pernah disatukan Majapahit dalam satu wilayah bernama Kadipaten Lasem Wilwatikta. Saat itu yang menjadi ratu adalah Dewi Indu Purnama Wulan Ia adalah adinda misan perempuan Prabhu Hayam Wuruk yang kelak menurunkan generasi penerus bernama Adipati Santi Badra. Kisahnya tak berhenti sampai di sana, karena Santi Badra yang di kemudian hari menjadi mpu dan sramana Buddha. Kelak menurunkan generasi penerus bergelar Raden Arya Adipati Tejakusuma yang mempelopori bersatunya penduduk se-eks karesidenan Pati melawan VOC-Belanda dan kerajaan bonekanya, Mataram Baru. Bedanya, pada pagi hari itu hingga Selasa tanggal 4 Juni 2019, para pemuda eks-karesidenan Pati disatukan oleh semangat praktik Buddha Dharma. Mereka bersama-sama mengikuti perhelatan Pekan Kemah Bakti Dhamma ke-XVI, yang disingkat dengan PKBD.
Pemuda Rahula

Menurut panitia, terdapat 510 peserta PKBD yang terdiri dari 333 peserta putra, dan 177 peserta putri. Kali ini, kegiatan mengusung tema: Religius, Ambisius, Hebat, Unggul, Lincah, dan Aktif, yang disingkat dengan satu kata: Rahula. Meski suhu udara cukup panas, dengan debu yang cukup pekat, para peserta sangat antusias mendirikan tenda-tenda beserta kelengkapannya. Ada yang dihias dengan gapura berbentuk stupa dari bambu. Ada yang menghias dengan taman kecil, dan ada pula yang menghiasnya dengan tema milenial.
Setelah pendirian tenda selesai, para peserta mengikuti arahan panitia untuk mengikuti kegiatan yang telah disusun. Pertama, ada kegiatan perlombaan untuk menghangatkan persahabatan antar peserta. Seperti baca palivacana, dhammadesana, baca dhammapada, lagu buddhis atau dhammagita. Uniknya, pada lomba dhammagita kali ini, peserta diajak turut melestarikan budaya Jawa dengan membawakan tembang pilihan berjudul samadhi (dengan langgam prau layar), atau mangayom telung mustiko (dengan langgam banyu langit) diiringi musik campur sari. Sementara untuk lagu wajib, peserta harus mendendangkan tembang dhamma berjudul, forever, dalam bahasa Inggris.

Sebagai kegiatan kedua, para peserta mengikuti sarasehan dengan topik serupa tapi tak sama. Pada malam hari pertama, narasumber yang dihadirkan adalah Bhikkhu Piyadhiro yang membawakan tema “Isu-isu Intoleran dan Terorisme”. Lalu disusul Riyanto, Danramil Cluwak, yang berbicara tentang “Memaknai Lahirnya Pancasila”. Pada sarasehan malam kedua, hadir dua orang sesepuh Patria Jateng yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua DPD Patria Jateng pada awal tahun 2000-an. Pertama adalah Dr. Hasto Bramantyo yang berbicara tentang “Pengaruh Media Daring Terhadap Pergaulan Remaja”, lalu disusul paparan Dhammatejo Wahyudi yang membawakan tema, “Budaya Buddhis di Pesisir Utara Jawa Tengah”.
Olah raga Hingga Bakti Sosial
Tak hanya itu, selama empat hari tiga malam penuh, para peserta PKBD juga melakukan berbagai aksi untuk mempererat persaudaraan sesama pemuda Buddhis. Berbagai perlombaan seperti bola voli, catur, memasak, pentas seni, keindahan dan kerapian tenda, dan liga dangdut turut memeriahkan PKBD. Tak berhenti sampai di sana, para pemuda dengan terampil berbaur dengan masyarakat Desa Bleber dan sekitarnya. Melalui bakti sosial pengobatan gratis, donor darah, pembagian sembako, dan penanaman bibit pohon. Mereka belajar banyak cara sesrawungan dengan masyarakat yang plural. Baik suku, agama, budaya, maupun adat istiadatnya.

PKBD kali ini juga mendapat dukungan anggota sangha dengan kehadiran Bhikkhu Cattamano Mahathera; Padesa Nayaka Jawa Tengah, Bhikkhu Sujano Thera; Bhikkhu Khemadhiro, dan Bhikkhu Dhirajayo. Dimeriahkan juga dengan aksi pelepasan makhluk yang terdiri dari dua jenis satwa. Pelepasan puluhan burung di area perkemahan, disusul dengan pelepasan ikan lele di sungai desa Ngawen. Sebagai acara puncak digelar Dharmasanti Tri Suci Waisak yang dihadiri sekitar 500 warga Buddha dengan antusias mendengarkan sambutan Bupati Pati, Haryanto, S.H., M.M.
Kepeloporan Pemuda Dasikin
Menurut penuturan Ajeto Kunderin, salah satu sesepuh pemuda Buddhis dari Jepara, “PKBD pertama kali diselenggarakan pada tahun 1999 di Desa Kunir, Keling, Jepara. Pada kegiatan pertama, baru diikuti sejumlah pemuda Buddhis dari Kabupaten Jepara, dan Pati. Kegiatan ini muncul dari gagasan mendiang Bapak Suwarjo (Blingoh), mantan Samanera Rumadi (Jugo), dan saya sendiri (Tunahan). Nama PKBD saya usulkan kepada panitia dan akhirnya disetujui kawan-kawan. Saat itu, Bhante Sri Paññāvaro Mahathera sempat hadir memberikan dorongan semangat kepada muda-mudi. Awalnya kami sempat takut, karena peserta yang hadir cukup banyak. Ini karena tahun itu kita sedang memasuki era baru pascareformasi 1998. Namun syukurlah, meski keamanan terbatas, PKBD dapat berlangsung lancar tanpa halangan suatu apapun. Oleh Mas Sugiarto (sekarang menetap di Papua), PKBD yang muncul dari gagasan pemuda dari desa-desa di Jepara. Dapat meluas diikuti pemuda dari wihara-wihara se-eks karesidenan Pati. Lalu belakangan PKBD diadopsi dan diakui sebagai kegiatan organisasi bernama Patria”.
Berdasarkan koleksi dokumen arsip Badrasanti.or.id, kegiatan semacam PKBD pertama kali dipelopori oleh pemuda Dasikin. Waktu itu, pemuda dari Wihara Bodhikirti, Desa Purwodadi, Kecamatan Kuwarasan, Kebumen, baru saja lulus dari IKIP Negeri Yogyakarta (sekarang UNY). Ia mengambil Jurusan Pendidikan Bahasa Daerah, Prodi Bahasa Sastra Jawa, Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni. Pada tahun 1991, ia dan kawan-kawan mempelopori kegiatan Kemah Dhamma di Pantai Logending, Kecamatan Ayah, Kebumen. Berkat kepeloporannya, hingga tahun 2019 ini, Kemah Dhamma sudah akan terselenggara hingga ke-28. Rencananya, panitia mengundang peserta lebih luas lagi, sampai ke wihara-wihara se-eks karesidenan Kedu. Seperti Kota dan Kabupaten Magelang, Temanggung, Kebumen, Purworejo, dan Wonosobo, bahkan dari D.I. Yogyakarta.

Kreativitas Antara Cah Ndeso dan Cah Kutha
Di wilayah tengah, pemuda Buddhis di Kabupaten Semarang dan Temanggung lima tahun belakangan ini juga mengadakan kegiatan sejenis bernama Sekoteng (Semarang Kolaborasi Temanggung). Awalnya, kegiatan ini digagas oleh pemudi setempat bernama Kustiani, P.hd pada tanggal 1-3 Agustus 2014. Waktu itu sekitar 100 orang peserta memadati tempat kegiatan di halaman STAB Syailendra dan Wihara Dhamma Phala, Deplongan, Kab.Semarang. Belum lagi hadirnya fenomena kreatifitas seorang pemuda bernama Ngasiran. Jurnalis Buddhazine.com ini mampu menggerakkan muda-mudi Buddhis di sejumlah wilayah tanpa suatu bendera organisasi pemuda apapun. Kehadiran Ngasiran menjadi oase dan pelengkap harapan muda-mudi Buddhis yang haus berkreasi dan mengekspresikan dirinya secara positif.
Semua kegiatan muda-mudi Buddhis di atas muncul atas inisiastif putra-putri daerah sendiri. Bukan atas dorongan suatu organisasi pemuda dari induk organisasi di tingkat provinsi, apalagi dari pusat (nasional). Ini adalah ciri khas pembinaan karakter pemuda Buddhis yang bisa dibilang ideal. Sebab ia muncul dari bawah (buttom up), alias gagasan cah ndeso. Bukan suatu kegiatan atas dasar instruksi membabi buta sebuah organisasi pemuda papan nama yang biasanya bercorak top down, alias kota sentris.

Dilihat dari berbagai jenis kegiatannya, acara kemah bakti banyak mengusung lokalitas yang guyup dan lebih bermakna. Bukan kegiatan dengan cara berpikir dan pola hidup kota yang biasanya sarat kemasan keminggris, namun susah dalam penerapannya bagi muda-mudi yang tinggal di desa dengan alam berpikir agraris. Kita perlu angkat topi dan acungi jempol atas semangat muda-mudi Buddhis dari daerah. Meminjam istilah keminggris, tepatlah kalau mereka disemangati dengan istilah gaul, “Cah Ndeso, Don’t Rest in Peace yah!”
Penulis: Dhammatejo W.
Editor: Cittasukho W.
You May Also Like

Perlukah Pendampingan Psikologis dalam Eksekusi Proyek Pemerintah?
July 5, 2019
Budaya Hanyawiji Budi Utama
June 19, 2019