Liputan

Bersama Pelita, Warga Buddha Semakin Bersinar

Pascareformasi 1998 yang diiringi sentimen SARA disusul terjadinya kerusuhan massa di beberapa kota. Turut menaikkan panasnya suhu politik yang sempat merembet hingga Kota Semarang. Untungnya, di Semarang tak sampai muncul kerusuhan yang menyebabkan situasi chaos seperti di kota lain. Pemerintah dan aparat keamanan dengan sigapnya mampu mengatasi ketegangan sampai ke tataran akar rumput. Tokoh agama dan masyarakat Semarang beserta ormas masing-masing kompak menjaga situasi dan kondisi.

Beberapa tahun kemudian, munculah gerakan-gerakan sosial yang membangun dialog untuk mempererat kerukunan antar etnis dan agama. Terutama sejak Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden. Beliau banyak mengeluarkan kebijakan yang mengedepankan semangat torelansi kehidupan antar agama dan etnis. Lalu mumculah dialog-dialog antar agama dan budaya dalam berbagai wadah organisasi. Salah satunya adalah Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) yang rajin mengadakan seminar-seminar untuk membangun dialog antar agama ke berbagai kota.  

Guntingan liputan artikel kegiatan Pelita dari harian Suara Merdeka, Minggu (17/3/2019)

Memasuki tahun 2000, embrio dialog-dialog antar agama dan budaya menetas beranak-pinak menjadi gerakan sosial yang mengusung persatuan dalam keberagaman di Kota Semarang. Salah satu yang terkenal dengan kegiatan rutin tahunannya adalah Pameran Kitab Suci Lintas Agama yang digagas Kevikepan Semarang. Setelah rutin berjalan sepuluh tahun berturut-turut, kemudian kegiatannya menjadi dua tahun sekali, dan masih terus berjalan hingga kini. Ini karena penggagas dan pelakunya yang terdiri dari berbagai tokoh agama itu sudah surut usia dan ada yang telah berpulang. Setelahnya, gaung kegiatan ini sempat meredup dan tidak sebesar nyala api semangat di awal dekade 2000-an. Seperti pada era pegiat awalnya, Suster Fransini, OSF, dari Katolik, Drs. H. Mudhofi dari Islam, Pandita D. Henry Basuki, B.A., dan Bhikkhu Cattamano Mahathera dari Buddha, dan masih banyak lagi.

Wihara Maha Dhamma Loka, Tanah Putih di bawah binaan Bhikkhu Cattamano Mahathera, ajeg mengadakan kegiatan buka puasa bersama lintas agama pada setiap bulan Ramadhan

Pelita, Nyala Api yang Kian Membesar

Tak sampai redup api semangat kegiatan Pameran Kitab Suci Lintas Agama yang digawangi biarawan dan biarawati Katolik di Kevikepan Semarang itu. Tiga tahun terakhir ini muncul nyala api kecil semangat yang disulut oleh anak-anak muda lintas agama. Nama wadah itu adalah Pelita, akronim dari Persaudaraan Lintas Agama. Satyawan, S.H., seorang muda yang santun adalah anak orang muda di balik nyala api baru yang menurut kami telah meneruskan semangat para pendahulunya.

Bedanya, kegiatan pameran kitab suci lintas agama oleh Kevikepan Semarang masih terbatas pada pameran buku dan seni budaya. Di Pelita, Mas Satyawan, dkk mampu bergerak mengkoordinir kegiatan dan merangkul banyak tokoh ormas, lintas agama dan budaya lebih luas lagi. Di bawah komandonya, Pelita peduli pada isu-isu sosial hingga hukum yang berkembang di masyarakat. Dukungan pada Gerakan Peduli Kendeng misalnya. Belum lagi kegiatan spontan saat terjadi peristiwa kamtibmas yang hampir-hampir mengancam kehidupan antar agama. Seperti misalnya teror bom, intimidasi pada kelompok minoritas, hingga solidaritas saat terjadi bencana alam.

Pandita Muda Dhammatejo Wahyudi selaku Ketua PC Magabudhi Kota Semarang, didampingi Cagga Tri Ananda, Ketua Hikmahbudhi Semarang saat menerima kue ulang tahun Pelita ke-3 dari Koordinator Pelita, Rama Gus Setyawan Budi, S.H.

Melihat hal ini, kami selaku wakil dari warga Buddha di Kota Semarang sangat beruntung dan terbantu dengan hadirnya Pelita. Bersama Pelita, kaderisasi di internal organisasi Buddhis mulai terbangun. Muncul nama-nama baru yang meneruskan semangat pendahulunya, baik bhikkhu, pandita, pemuda, hingga mahasiswa Buddhis.

Pelita, Menciptakan Ruang Dialog Baru yang Ringan

Berbeda dengan dialog-dialod serius di ruang seminar ilmiah atau sejenisnya. Kami selaku wakil dari warga Buddha melihat peluang ruang dialog baru yang lebih santai, namun serius. Di Kota Semarang sendiri, terbatas sumber daya manusia yang mumpuni secara akademik atau intelektual Buddhis. Ini karena lembaga pendidikan Buddhis tidak berdiri di Kota Semarang, melainkan di luar kota. Misalnya di Wihara Mendut, Magelang yang merupakan sekolah bagi calon bhikkhu, di Ampel Boyolali dan di Kopeng, Salatiga, di mana terdapat sekolah tinggi agama Buddha dengan sejumlah mahasiswa dan dosennnya.

Maka dengan gerakan Pelita yang sering mengadakan kegiatan spontan di ruang publik dan berkesan santai namun justru berpengaruh luas. Warga Buddha dapat mengutus wakil-wakilnya yang menjadi aktivis untuk terus meningkatkan kemampuan dialog intelektualnya di tengah-tengah pergaulan lintas agama. Sebut saja misalnya kehadiran Hikmahbudhi (Himpunan Mahasiswa Buddhis) Kota Semarang, Badra Santi Institute, dan Magabudhi Kota Semarang, dan lain-lain. Organisasi-organanisasi tersebut mampu menghadirkan sosok-sosok muda baru yang tampil mewakili komunitas warga Buddha di Kota Semarang, dari berbagai corak sekolah (saya lebih suka menyebutnya sekolah daripada sekte).

Maka telah muncul nama-nama baru pegiat lintas agama dari warga Buddha. Dari Hikmahbudhi ada Chandra Tri Ananda, Rudy Wisnu Waluyojati, dan Tri Lestari. Dari Badra Santi Institute ada Gusti Ayu Rus Kartiko, Widodo Brotosejati, dan Joko Nur Widodo. Dan dari Magabudhi ada Pandita Muda Aggadhammo Suwarto, Bsc., Pandita Muda Arief Wijaya, S.E., dan Upacarika Piyamano Priyono. Sejumlah nama tersebut tentu masih sangat kurang dan belum sesemarak wakil dari agama-agama lain yang terdiri dari banyak tokoh muda dan sesepuh. Ini adalah tantangan yang harus disikapi oleh warga Buddha sendiri untuk terus mengusahakan kaderisasi untuk menghasilkan pemimpin-pemimpin muda baru yang bukan hanya orang itu-itu saja. Melainkan orang muda baru yang siap mengemban estafet kepemimpinan di dalam organisasi-organisasi Buddhis sendiri.

Buka bersama para tokoh lintas agama di Masjid Agung Jawa Tengah, Mei 2019

Harapan Pada Pelita 

Kini telah tiga tahun sudah Pelita hadir di tengah-tengah kita. Kehadirannya sungguh bagaikan pelita yang memberikan cahaya di saat kita diliputi kegelapan. Pelita meskipun bukan organisasi plat merah yang mendapatkan sokongan dana pemerintah dalam gerakannya. Ia mampu hadir menawarkan situasi di tengah isu perpecahan yang ditiupkan pihak-pihak tak bertanggungjawab, misalnya melalui hoax secara viral. Pelita juga mulai didengar kontribusinya oleh pemerintah dan aparaturnya, misalnya dari kepolisian setempat. 

Kunjungan Forum Kebersamaan Umat Beriman Klaten ke Jaringan Pelita Kota Semarang, di Masjid Nusrat Jahan, Jl. Erlangga Barat IV, Semarang, pada hari Sabtu, 6 Juli 2019

Ke depan, pelan-pelan Pelita harus melembaga meskipun tidak harus formal atau berbadan hukum. Sifatnya sebagai forum atau federasi tetap perlu didukung dengan perangkat kerja yang lebih baik bagi aktivisnya. Misalnya ketersediaan sekretariat bersama, dukungan kas bersama, dan adanya forum tokoh sesepuh dari masing-masing tokoh agama. Serta satu hal yang terpenting dan sampai sekarang masih terjaga murni adalah sikap non partisan Pelita yang tetap netral dan tidak berpihak pada kepentingan politik praktis, harus tetap dipertahankan.   

Terakhir, pada peringatan tiga tahun Pelita ini. Kami untuk dan atas nama warga Buddha di Kota Semarang khususnya. Ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih sedalam-dalamnya. Atas peran dan kontribusi Pelita selama ini. Semoga nyala api Pelita semakin berkobar dan menerangi segenap penjuru mata angin. Seperti kata Soe Hoek Gie, “Daripada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan Pelita”. Selamat atas Peringatan Tiga Tahun Pelita. Semoga kita semua selalu rukun, selaras, sehat, bagas, dan waras. Terbebas dari segala mara bahaya dan bencana. Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatha. Sadhu Sadhu Sadhu.

Rama Pastur Aloysius Budi Purnama, Pr. selaku salah satu Pendiri Pelita. Beliau bersama para tokoh lintas agama dari berbagai daerah di Tanah Air, diterima Presiden Joko Widodo di Istana Bogor, beberapa waktu lalu.

Penulis: Dhammatejo W.
Editor: Cittasukho W.
Foto oleh Rizky, diambil dari koleksi grup Pelita




Share it!
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *