Teladani Putri Campa, STAB Syailendra Tularkan Tradisi Batik di Pantura (2)
(Bagian 2 dari 2 tulisan bersambung, dalam rangka mendukung Program Pengabdian Masyarakat STAB Syailendra)
Padha ngudi nggambar nyungging sing sêtiti,
ngati-ati natah ngukir barang rimpi,
ditlatèni nyongkèt mbathik-Widyarini.
Ngronce sêkar, ngênam, nênun, cindhe limar,
ngudi mêkar majune Budaya anyar,
murih jêmbar nanging aja nganti mblasar.
(Sabda Badra Santi 1985: 183)
Pada hari pertama bulan puasa tahun 2017 (28/5). Sebanyak 75 orang muda-mudi dari Jawa Tengah, mengantri masuk ke dalam kediaman Sigit Wicaksana di Desa Karangturi, Lasem. Mereka berkunjung untuk melihat langsung proses membatik tulis di rumah sesepuh Tionghoa, sekaligus pengusaha batik tulis Lasem. Di bawah komando Ngasiran, pemuda dari Jepara yang mengabdikan dirinya untuk Temanggung dan Buddhazine.com. Muda-mudi yang tak dibina organisasi pemuda Buddhis manapun itu, antusias menyaksikan proses menggambar pola batik. Mereka menyaksikan ibu-ibu pekerja menorehkan canting, mencium aroma malam yang ditorehkan pada lembaran kain. Hingga proses pencelupan dan penjemuran hasil batik.
Muda-mudi itu adalah sebagian kecil dari warga Buddhis yang ingin menengok langsung jejak sejarah kebudayaan nenek moyangnya. Yaitu batik tulis tinggalan Wikuni Kumudhawardani atau yang kemudian dikenal sebagai, Putri Campa. Seperti dinarasikan dalam karya sastra Buddhis Majapahitan, Sabda Badra Santi.
Pelatihan Batik STAB Syailendra
Berbeda dengan para muda-mudi di atas, yang baru sebatas kunjungan napak tilas dan melihat proses batik tulis. STAB Syailendra telah memulai langkah kecilnya, untuk menggerakan perekonomian masyarakat Buddhis. Seperti pada Jumat-Minggu (22-24/11/2019), sebanyak 20 orang ibu-ibu Buddhis dari Pantura, mendapat pelatihan batik. STAB Syailendra mengirimkan 4 orang dosen sebagai Tim Pelaksana Pelatihan yang melakukan kegiatan di Wihara Eka Dhamma Loka, Ngawen, Pati.
Suranto, candidate doctor, Ketua STAB Syailendra dalam wawancara melalui media sosial WA menuturkan, “STAB Syailendra dengan dukungan Ditjen Bimas Buddha Kementerian Agama, mencoba mengembangkan batik tulis menjadi batik cap prema batik Syailendra. Sebagai media pendidikan dan pemberdayaan warga Buddha”.
Lebih lanjut, Suranto yang didampingi Sukhitta Dewi, Didik Susilo, dan Junarsih menambahkan, “Ibu Icca dan Ibu Kotek dari Wandani Kab. Semarang menularkan cara membantik cap dengan pola lambang Buddhis. Seperti Dharma Cakra, daun bodhi, stupa model Borobudur, dan logo STAB Syailendra. Kami berharap, ke depannya, para upasaka-upasika bisa membuat batik cap dan mampu bergerak kreatif untuk meningkatkan ekonomi kerakyatan”.
Menunggu Nilai Tambah Lembaga Buddhis
20 orang peserta pelatihan batik cap itu mewakili komunitas Buddhis dari Pati (8 peserta), Jepara (6 peserta), Grobogan (3 peserta), dan Kudus (3 peserta). Mereka berasal dari wilayah yang dalam pandangan sosiologi disebut episentrum budaya pantura. Meski baru tahap awal, langkah kecil STAB Syailendra ini harus terus didukung dan diikuti Pendidikan Tinggi Agama Buddha (PTAB), dan organisasi-organisasi Buddhis lainnya.
Di Pantura sendiri, melimpah banyak pontensi ekonomi kerakyatan Buddhis selain batik. Ada hasil laut seperti perikanan dan tambak ikan dan tambak garam, ada ukir, pertanian, hasil bumi, dan lainnya. Penelitian akademik dari sumber-sumber sejarah masa lalu tentang ekonomi kerakyatan. Disusul penerapannya kembali dengan sentuhan kekinian. Sudah sangat ditunggu pemeluk Buddha di pedalaman desa. Sebab keterbatasan tingkat pendidikan, rendahnya status sosial masyarakat Buddhis di tengah pemeluk beragama lain, dan peningkatan perekonomian masyarakat Buddhis. Belum menjadi nilai tambah pelayanan lembaga-lembaga Buddhis. Kapankah kita mulai menengok ke sana?
Penulis: Gusti Ayu Rus Kartiko
Editor : Dhammatejo W.
Foto: Koleksi Suranto dan Sukesih