Pemandangan Pelabuhan Bi Nang Un di Lasem. Sekarang bernama Pantai Bonang
Liputan

Budaya Hanyawiji Budi Utama

Sekitar tahun 1413 M, terdapat seorang dhang puhawang atau nahkoda dari negeri Campa bernama Bi Nang Un. Ia beserta keluarga dan kerabatnya mendaratkan kapal-kapal di Teluk Regol, Lasem. Pendaratan ini dalam rangka “Bedhol Desa” atau pindahan, dari Campa ke Lasem, Jawa Tengah. Setahun sebelum boyongan itu, Bi Nang Un sudah sampai di negeri Jawa bersama rombongan pelayaran kapal Laksamana Cheng Ho dari Tiongkok. Ini adalah pelayaran persahabatan antara Tiongkok dan Majapahit. Pada waktu itu, Tiongkok adalah negeri adi daya pertama di dunia, dan Majapahit adalah penguasa Asia Tenggara yang disegani bangsa lain. Peristiwa bersejarah ini terjadi sekitar 65 tahun sebelum Majapahit perlahan runtuh.  

Di waktu lain, Bi Nang Un diterima Adipati Lasem bernama Wijaya Badra yang setahun sebelumnya memberinya izin pindah ke Lasem, disertai suatu pesanan. Ia dan keluarganya dari Campa, diminta membawa oleh-oleh berupa flora fauna, yang belum ada di Jawa. Seperti padi campa klewer, ketan hitam, mangga blungkow, tebu linpow, delima, ayam campa, merak berbulu biru. Juga mengajak serta para seniman budayawan dan pujangga yang luhur budi.

Sudah Sejak Awal Abad Masehi

Mpu Santi Badra, salah satu cucu Adipati Wijaya Badra melukiskan kehadiran bangsa Campa itu ke dalam suatu pustaka yang diwariskan turun-temurun. Namanya Pustaka Badra Santi, dengan narasi yang dapat diselaraskan dengan berita Tiongkok “Yingyai Sheng Lang” karya Ma Huan-juru bahasa Cheng Ho. Selain itu, dari jejak artefaktual yang melimpah di pesisir utara Jawa, dapat diketahui bahwa pada era Majapahit, bangsa Jawa dengan terbuka telah menerima kehadiran bangsa asing untuk berdagang dan izin tinggal menetap hingga beranak pinak. Selain dari Campa, ada juga pendatang dari India, Gujarat, yang disusul pelaut bangsa Eropa dan Arab.   

Dari temuan Arca Buddha berlanggam Amarawati di Sepadan, Sulawesi Selatan yang berasal dari abad pertama Masehi menunjukkan, bahwa Nusantara adalah bangsa besar yang gaul. Banyak catatan sejarah menulis, justru pada saat itu daratan Eropa masih hutan belantara dengan penduduk yang masih pandir dan kerdil karena suka berperang satu-sama lain. Salah satunya untuk berebut komoditas pangan dan hasil bumi lainnya dari Nusantara. Eropa baru mengenal dunia luar setelah para pelautnya belajar menjelajah lautan. Mereka berlomba dengan bangsa Arab, dan bangsa lainnya, untuk menemukan sumber asal komoditas Nusantara. Seperti rempah-rempah, gaharu, kemenyan, kapur barus, beras, kayu jati, dan lainnya. Pelayaran mereka mencapai puncaknya pada abad ke XV dengan dilandasi semangat 3 G (gold, glory, gospel).  

Momor, Momot, Kamot, Hamemangkat

Mengapa bangsa Indonesia mudah bergaul dan menerima kehadiran bangsa asing? Ini dapat kita ketahui dari sesanti bangsa Jawa yang adiluhung. Yaitu semangat momor, momot, kamot, dan hamemangkat. Sejak awal abad, bangsa Jawa yang saat itu memeluk keyakinan Siwa dan Buddha adalah bangsa yang menjunjung tinggi persahabatan sesama manusia. Bangsa yang dikenal ramah-tamah dan tidak mau membedakan manusia berdasarkan suku, agama, warna kulit, dan golongan-golongan.

Sifat luhur bangsa Jawa dalam menerima apapun yang datang dari luar adalah: (1). Momor atau menerima. Artinya, bangsa Jawa dengan legawa mau menerima apapun yang datang dari luar. Baik manusianya, agamanya, seni budayanya, teknologinya, dan apapun yang bersifat baik dan selaras dengan kebudayaan Jawa; (2). Momot atau menampung. Bangsa Jawa selalu menampung atau mewadahi apapun yang sudah diterima; (3). Kamot atau muat. Apapun yang sudah ditampung atau dimuat oleh Jawa, pasti muat, selalu mendapatkan tempat. Tidak kekurangan tempat atau tidak ditolak; dan (4). Hamemangkat atau menghormat. Inilah sifat pertama dan utama bangsa Jawa. Bangsa manapun yang datang dengan agamanya, kebudayaannya, dan lainnya. Pasti dihormati dan dirawat keselarasannya dengan keadaan di bumi Jawa. Keempat hal ini adalah akar dari semangat kebhinekaan bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila Dasar Negara.    

Suasana penyambutan Raja Jawa oleh Raja Tiongkok dalam pementasan Sendratari “Belanga Cinta di Belahan Negeri Budi Utama”. Foto kiriman Yudhistira Sri.

Budi Utama

Sebagai bentuk dari rasa syukur atas kebhinekaan bangsa Indonesia yang indah itu. Sekolah Budi Utama di Yogyakarta dengan dahsyat mengemasnya menjadi pentas seni kolosal. Tepatnya pada Selasa malam, tanggal 18 Juni 2019, di Grand Pasific Hall, Yogyakarta. Tak kurang 500 orang penonton dibuat terkesima dengan perayaan kebhinekaan Indonesia melalui sendratari berjudul, “Belanga Cinta di Belahan Negeri Budi Utama”. Sekitar 100-an pemain yang terdiri dari siswa-siswi KB-TK-SD-SMP-SMA Budi Utama apik mementaskan tari-tarian, lagu, gamelan jawa, permainan tambur, dan suguhan pemain drama karakter menggambarkan keselarasan budaya Jawa dan Tiongkok.

Gambaran adegan Raja Jawa yang bergembira atas penyambutan luar biasa Raja Tiongkok. Foto kiriman dari Yudhistira Sri.

Alur kisah dimulai ketika Raja Tiongkok yang diperankan oleh Dandun, menerima kabar akan datangnya kunjungan persahabatan dari Raja Jawa, yang diperankan oleh Hosea. Raja Tiongkok kemudian meminta Reche yang berperan sebagai utusan seni kerajaan untuk menyiapkan sambutan berupa pentas seni yang meriah bagi Raja Jawa. Adegan disusul penampilan Yudhistira Sri, yang berperan sebagai pria jawa, yang dengan luwes bercengkerama dengan Axel yang berperan sebagai warga Tionghoa. Keduanya adalah gambaran betapa cair dan bersahabatnya bangsa Jawa dan Tiongkok sejak dahulu. Sesudahnya, datang pengumuman dari utusan Raja Tiongkok, bahwa Raja Jawa akan hadir, semua rakyat diminta turut menyambut gembira sambil menikmati suguhan seni budaya kedua bangsa itu.

Jawa-Tionghoa Hanyawiji

Sutradara, Rr. Amanda Putri Divanti yang diasisteni Rere menuturkan pentas pertama Sekolah Budi Utama ini terbilang cukup sulit pada awalnya. Ini karena persiapan hanya tiga bulan dengan para pemain teater yang baru pertama kali berlatih dan tampil. Namun dengan keceriaan anak-anak dan kualitas mental positif mereka, sendratari yang naskahnya ditulis oleh RA. Eny Esyta Kolopaking dan diproduseri Frengky ini berhasil tampil memukau penonton. Frengky sendiri mengangkat ide kisah itu karena di Budi Utama, terdapat banyak siswa berlatar belakang budaya Jawa dan Tionghoa. Namun para siswa bisa cair dengan tradisi pendidikan karakter kebhinekaan yang ditanamkan Sekolah Budi Utama.

Seni musik Tambur China sebagai penghormatan besar atas kehadiran Raja Jawa. Foto kiriman dari Yudhistira Sri.

Hal ini tampak dari antusiasnya para penonton yang rata-rata adalah orangtua siswa dan keluarga penampil seni. Usai acara, mereka masih saja berfoto bersama, bahkan para pemain masih saja menahan degub jatungnya karena bangga telah berkreasi mencipta sejarah baru bagi sekolah mereka. Seperti yang dituturkan Yudhistira Sri. Remaja yang di dalam tubuhnya mengalir darah seni dari leluhurnya yang Pelestari Badra Santi ini, malam itu masih belum bisa memejamkan mata hingga larut pagi. Ia masih saja berdiskusi dengan rekan-rekan pemain lain dan masih ingin mengulang lagi momen indah pementasan Jawa-Tionghoa Hanyawiji. Sementara itu, Dandun, pemeran Raja Tiongkok yang di dalam darahnya mengalir perpaduan Jawa Tionghoa dari pesisir, malam itu mengungkapkan kepada Yudhistira Sri, “Semula saya agak susah berlatih menari dan menyanyi lagu yang romantis. Namun setelah berkali-kali latihan, akhirnya bisa juga”.

Beberapa pemain sendratari terdiri dari Axell, Yudhistira Sri, Cintya, Vari, Karenina, dan Lutfi (dari kiri ke kanan). Mereka meluapkan kegembiraan dengan mementaskan pertunjukan seni Jawa-Tionghoa Hanyawiji. Di balik panggung, mereka berfoto bersama dan berbincang atas budaya prestasi luar biasa yang dipentaskan. Foto kiriman dari Yudhistira Sri

Penulis: Dhammatejo W.
Editor: Cittasukho W.

Share it!
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *