Layang

SUPARDI, PUJAKESUMA YANG MUDIK KE JAWA SUKSES WIRAUSAHA BAHAN BANGUNAN

115 tahun lalu, tepatnya pada bulan November 1905, sekitar 800 orang yang terdiri dari 155 kepala keluarga (KK) beserta anggota keluarganya, berangkat dari Purworejo ke Kota Betawi (Jakarta). Sempat menyaksikan sebentar akan kemegahan ibu kota Hindia Belanda, rombongan besar itu naik kapal menuju Pulau Sumatera. Ini adalah pengalaman naik kapal pertama mereka yang selama ini hanya bisa memandangi Laut Kidul di selatan Jawa.    

Kolonisten, Cikal Bakal Transmigran
Mereka adalah angkatan pertama kolonisten dari Jawa yang akan ditempatkan sebagai pekerja di perkebunan karet Belanda ke wilayah karesidenan Lampung. Setelahnya, sejumlah rombongan itu mendiami bedeng-bedeng yang disediakan pemerintah Belanda di daerah Gedong Tataan.  Lalu secara bertahap, mereka membangun desa dengan pola seperti di Jawa. Sebagian besar dari mereka adalah keturunan pengikut Diponegoro dari daerah Bagelen, masuk wilayah Karesidenan Kedu. Para kolonisten yang di era kemerdekaan kemudian berganti sebutan menjadi transmigran itu dikenal pemberani dan punya mental petarung yang membuat cemas Belanda.

Tak lama kemudian, gelombang transmigrasi penduduk di era Belanda ke Lampung semakin bertambah hingga mencapai puluhan ribu orang. Tak hanya dari daerah Bagelan, program tansmigrasi Belanda yang kemudian dilanjutkan pada era pemerintahan Indonesia terus berdatangan dari berbagai daerah. Seperti dari Bantul, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Madura. Itulah mengapa kemudian berdiri desa-desa dengan ciri khas rumah adat dari daerah masing-masing. Selain itu, mereka membawa juga adat tradisi budaya, terutama bahasa dan keyakinan agamanya. Seperti mereka yang berasal dari Bagelen, selain melestarikan bahasa Jawa, mereka juga membawa keyakinan leluhurnya, Kejawen. Kini daerah yang disebut Gedong Tataan dikenal sebagai Kota Pringsewu.   

Ketoprak Perpisahan
Satu dari sekian banyak transmigran dari daerah Bagelan adalah keluarga pasangan mendiang Mbah Sudarto dan Ibu Kamisem. Seperti yang dituturkan Supardi (47 tahun), salah satu putra mereka kepada Layang Badra Santi. Supardi tidak ingat betul, kapan pastinya kedua orangtua dan warga lain satu rombongan yang berangkat ke Lampung. Ia hanya ingat, ayah-ibunya berasal dari Gombong, Kebumen, tak jauh dari Purworejo yang juga dekat dengan budaya Bagelen. Pada zaman Belanda, malam hari sebelum pemberangkatan transmigran ke Betawi, para warga menyaksikan pementasan ketoprak dan seni lainnya. Selain untuk hiburan, acara itu adalah bentuk wilujengan dan perpisahan. Di Lampung, orangtua Supardi yang memeluk agama Buddha, tetap mengajarkan seni budaya Jawa dan bercerita banyak hal tentang Jawa. Putra-putra transmigran dari Jawa ini kemudian sering dikenal sebagai Pujakesuma alias putra Jawa kelahiran Sumatera.            

Supardi sejak kecil hingga SMA tinggal di Pringsewu, kota yang dahulu bernama Gedong Tataan. Letaknya sekitar 25 KM dari sebelah baratnya Tanjungkarang. Pada tahun 1994, ia lulus SMA, dan sempat ditawari kuliah di Jawa, tepatnya di Bekasi. Waktu itu ia beberapa orang kawannya ditampung oleh seorang donatur dari Jakarta. Baru sebulan di Bekasi, terbetik khabar pabrik sang dermawan tutup karena bangkrut. Supardi dan beberapa kawan pun batal kuliah, dan sempat bekerja serabutan untuk bertahan hidup. Di tengah-tengah perantauannya, ia berjumpa Pariyatun (44 tahun), gadis Buddhis dari Temanggung. Tak lama kemudian, ia kawin dan ikut pulang ke desa istrinya di Dusun Sembong, Desa Gandon, Kecamatan Kaloran.      

Jatuh Bangun Namun Tetap Gigih
Di Temanggung, Supardi dan Pariyatun hidup layaknya warga desa lainnya yang sederhana dan bersahaja. Ia sempat bekerja membuat genteng untuk menafkahi keluarganya. Bahkan, Supardi pun sempat merantau ke Kalimantan untuk bekerja menjadi buruh di perkebunan sawit. Setelahnya, ia dan istri.kembali ke Jawa dan bertekad untuk bertahan hidup sebagai seorang pedagang. Sampai di Jawa, Pariyatun berjumpa teman SMK-nya yang memiliki toko besi. Ia pun terinspirasi untuk membuka toko bahan bangunan.            

Mula-mula ia membuka toko kecil di pinggir jalan Sembong-Kaloran. Pasang surut dalam usaha adalah hal yang biasa buat pasangan suami istri yang telah dianugerahi dua anak itu. Ia memberi nama tokonya, T.B. Putra Maju. Seperti umumnya problem klasik berwirausaha, Supardi dan istri menghadapi tantangan permodalan. Jatuh bangun ia rasakan. Pinjam modal ke sana kemari pernah dilakukan. Dengan kedisiplinan dan semangat gigih, akhirnya ia bisa bangkit perlahan-lahan. Hingga kemudian, tokonya berkembang pesat. Ia juga sempat membantu perkembangan usaha mertuanya, memproduksi beton dan batako. Kebetulan, Mbah Sujono dan Supirah mertuanya, adalah salah satu sesepuh Buddhis Wihara Dhamma Guna. Dari mereka Supardi dan Pariyatun turut aktif mendukung kegiatan wihara sejak tahun 2012.  

Supardi dan Pariyatun di TB Putra Maju yang didirikannya

Sapa Tekun, Bakal Tekan
Sebagai wirausahawan, kedua pasangan Buddhis itu mempunyai pandangan hidup, “kerelaan (dana) adalah landasan praktik Buddhis”. Maka dalam menghadapi pasang surut usaha dan membantu kegiatan wihara. Supardi dan Pariyatun ingat pesan Dharma dari para sesepuh, “Teteg mlaku wae, mengko rampung dewe”. Artinya, “tekun saja menjalani peran apapun, nanti semuanya akan selesai sendiri”. Pemahaman ini ia praktikan saat mendukung renovasi Wihara Dhamma Guna. Wihara bercorak Mahayana yang berdiri sejak 1971 ini sempat hampir rubuh karena bangunannya sudah tua. Atas jasa anak-anak muda Buddhis lintas corak budaya (saya lebih suka menyebutnya corak budaya atau sekolah dari pada kata sekte yang maknanya cenderung konotatif). Wihara Dhamma Guna yang direnovasi total sejak tahun 2018, dapat rampung tahun 2020.

Pada proses renovasi yang juga didukung banyak dermawan dari berbagai kota itu, Supardi tak canggung membantu bahan bangunan yang diperlukan. Ia hanya meyakini, tidak ada yang berkurang bila apa yang kita miliki didanakan untuk perkembangan Buddha Dharma. Ini karena kerelaan (dana) adalah tahap pertama untuk menuju laku praktik selanjutnya. Yaitu sila, samadhi, dan memunculkan kebijaksanaan. Supardi dan Pariyatun berharap banyak pada para pemuda di desa, utamanya di Temanggung. Agar terus bersemangat laku praktik Buddha Dharma dan guyup rukun dengan upasaka-upasika lain meski berbeda corak budaya. Meskipun rata-rata warga Buddha di desa-desa adalah petani dan buruh. Supardi meyakini bahwa pekerjaan apapun bakal dapat dinikmati dan membawa kebahagiaan. Sapa tekun, bakal tekan – siapa tekun, bakal meraih apa yang dicita-citakan. Demikian kisah Pujakesuma yang sukses “merantau” pulang kembali ke tanah leluhurnya, Jawa.

Penulis: Dhammatejo W.
Editor: Metta Surya

Share it!
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *