Sedang Menuju Punah-kah, Agama Buddha di Timur Ungaran?
Di dalam buku Kronologi Hidup Buddha, disebutkan toponimi nama bambu sebagai salah satu kediaman Guru Agung Buddha. Namanya hutan bambu atau Veluvana Arama persembahan Raja Bimbisara, di Kota Rajagaha, Negeri Magadha. Di hutan bambu itu, pada purnama di bulan Māgha, terdapat peristiwa agung caturangasannipata atau sebuah perhimpunan besar dengan empat ciri. Saat itu, Sang Buddha menerima berkumpulnya 1250 bhikkhu yang kemudian mengulang Ovāda Pāṭimokkha dan kini dikenal sebagai Hari Suci Māgha.
“Veluvana Arama” Sang Buddha di Jawa
Di Jawa, tepatnya di Magelang, pernah terdapat sebuah wihara terkenal di zaman Mataram Kuna dengan sebutan Veluvana Arama. Kawasan wihara ini ditandai adanya candi Buddha yang kini dikenal sebagai Candi Mendut. Di zaman modern, nama daerah dengan toponimi bambu tersebar di beberapa daerah di pulau Jawa. Hal ini misalnya mengacu pada sebutan nama bambu apus (dialek Jakarta), ciapus (Sunda), dan Pringapus (Jawa). Ini semua adalah nama jenis bambu yang banyak ditemukan di pedesaan di Jawa. Tanaman yang masuk famili poaceae ini adalah jenis gigantochloa apus kurz atau bambu tali. Apakah nama ini terkait nama veluvana seperti disebutkan di depan?
Nama pringapus, apus, atau ciapus banyak dijumpai menjadi nama-nama desa di pulau Jawa.Tentu selain karena banyak ditumbuhi pohon bambu jenis pringapus, nama pringapus juga identik dengan jejak tinggalan masa lalu. Misalnya saja di Desa Candirejo, Kecamatan Pringapus, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Di desa ini masih dapat dijumpai sebaran reruntuhan artefak bercorak Siwa dan Buddha. Seperti adanya batu lingga yoni dan reruntuhan candi bernama Candi Rubuh yang terletak di hutan jati.
Temuan Arca Buddha bercorak Wara Mudra
Satu hal yang unik dan patut diteliti adalah, pernah adanya temuan arca Buddha setinggi setengah orang dewasa. Arca ini ditemukan dalam keadaan tanpa kepala oleh warga Desa Candirejo di hutan Gedong Bubrah. Arca Buddha posisi duduk dengan mudra wara mudra yang sempat disimpan warga Buddha ini terbuat dari batu.
Namun setelah beberapa waktu lamanya sempat disimpan warga Buddha di wihara. Arca ini dikembalikan ke hutan dimana arca ditemukan. Pertimbangannya, karena ada salah satu pemeluk Buddha setempat beberapa kali mimpi ditemui satu sosok berbusana “ksatria Jawa kuna”. Sosok di dalam mimpi itu minta agar arca Buddha dikembalikan ke tempatnya, karena belum waktunya muncul.
Benar saja, beberapa saat setelah arca dikembalikan, arca itu raib misterius. Entah diambil tangan jahil, entah berpindah ke tempat lain. Namun, hal yang menggembirkan adalah, berdasarkan petunjuk adanya temuan arca Buddha di Pringapus. Sangat dimungkinkan nama-nama daerah terkait pringapus, apus, atau ciapus terdapat jejak bekas wihara atau candi kuna di masa lampau. Terlebih dengan adanya temuan arca Buddha di wilayah yang sangat dekat dengan reruntuhan candi Siwa ini menunjukkan nilai penting. Bahwa sejak sejak zaman dulu, agama Siwa dan Buddha sudah hidup selaras berdampingan.
Tiga Desa Pelestari Buddha Dharma
Kini di zaman milenial, masih dapat kita temui pemeluk Buddha di Kecamatan Pringapus, yang tinggal selaras berdampingan dengan pemeluk agama lain. Hal ini seperti dituturkan Rama Pandita Suradi Ciptadiharja (77 tahun). Ia menyampaikan bahwa sebelumnya, secara turun-temurun, kebanyakan penduduk masih memeluk keyakinan Jawa (kejawen kebatinan?). Lalu setelah peristiwa politik tahun 1965, pemerintah mewajibkan para penduduk memilih agama. Waktu itu, hampir 80% penduduk memilih agama Buddha, karena dirasa paling selaras dengan adat istiadat dan budaya Jawa.
Sesudahnya, datanglah pembinaan yang dilakukan Rama Pandita Pramana Wirana dari Desa Nanggulan, Salatiga (kemudian sempat pindah rumah di Desa Benoyo-Red). Ia adalah tokoh kuna murid Ashin Jinarakhitha yang saat itu menjabat anggota DPRD Kota Salatiga dari Partai PNI Bung Karno. Pandita Suradi yang didampingi Mbah Dharmadi (70 tahun) dan Mbah Putri Harta Lasminah (70 tahun). Saat kesempatan wawancara dengan Badrasanti.or.id menuturkan kenangan masa lalu mereka.
“Waktu itu hampir 80% warga Desa Candirejo memeluk agama Buddha. Bahkan di desa sebelah, tepatnya di Desa Penawangan juga sama banyaknya, tokohnya antara lain Mbah Markam. Kini keberadaan pemeluk Buddha di Kecamatan Pringapus terus merosot oleh beberapa sebab. Selain di sini, Rama Pramana juga membina pemeluk Buddha di Wihara Dharmajati, Desa Prigi, Kecamatan Kedungjati, Kabupaten Grobogan. Jaraknya sekitar dua jam naik sepeda motor dari sini. Tapi zaman dulu, anjangsana warga Buddha di sini ke Grobogan ya jalan kaki-demikian pula sebaliknya”, tutur Pandita Suradi.
Sementara itu, Mbah Dharmadi menambakan, “Pada tahun-tahun awal agama Buddha muncul dan berkembang, warga Buddha belum punya wihara. Puja bakti dilakukan secara anjangsana dari rumah ke rumah. Baru pada waktu Pak Suradi terpilih menjadi Kepala Desa tahun 1981-1985. Pemeluk Buddha bisa mendirikan wihara. Sayangnya, binaan Rama Pramana yang jadi malah yang di Grobogan. Sesepuhya namanya Mbah Wanita Subrata, Mbah Darsi, dkk. Jumlah pemeluknya terbilang banyak. Mungkin ini didukung adanya pembinaan dari pemeluknya yang sudah jadi (pegawai di lingkungan Bimas Buddha-Red)”.
Ditambahkan oleh Pandita Suradi, “Di masa awal, memeluk agama Buddha cukup berat dan bertaruh nyawa. Saya sempat beberapa kali dibawa dan diinterogasi aparat berwajib. Entah, ada saja alasannya. Namun saya dan warga Buddha di sini terus bersikukuh memeluk agama Buddha. Selain Rama Pramana, sampai tahun 1970-an, baru ada seorang bhikkhu hadir melakukan pembinaan. Itu pun tidak menginap. Lalu baru pada tahun 1982, hadir Bhikkhu Dharmaji Ugadhammo dan membantu berdirinya wihara yang waktu itu baru berupa tanah yang selesai difondasi. Wihara ini berdiri di atas tanah wakaf seorang mendiang sesepuh warga Buddha bernama Bapak Harta Lasminah. Sesudah berdiri, wihara ini diberi nama Wihara Ugadhammo”.
Letaknya Terselip, Luput dari Perhatian Saudara di Kota
Berdasarkan kunjungan Badrasanti.or.id, letak wihara yang terletak di Desa Candirejo ini cukup terpelosok. Dari jalan raya Ungaran-Solo, tepatnya di pertigaan Polsek Bergas, perlu waktu 30 menit menempuh sekitar 15 KM dengan naik sepeda motor.
Ibu Harta Lasminah yang tinggal di samping kiri Wihara menuturkan, “Di sini sejak dulu belum pernah ada guru agama Buddha yang mengajar di sekolah-sekolah. Jadi anak-anak sekolah tetap ikut agama Buddha, tapi keteguhannya kurang. Apalagi sekarang sudah tidak ada lagi puja bakti di wihara. Sayang juga, anak mudanya banyak yang meninggalkan agama Buddha karena perkawinan”.
Ungkapan keprihatinannya ditegaskan pula oleh Mbah Dharmadi, “Dulu kadang-kadang dilakukan pembinaan dari Wihara Sasana Santi, Semarang. Namun barangkali di sana sendiri juga menghadapi masalah yang sama. Tidak muncul generasi muda penerusnya. Jadi di sini keadaannya yaaa… seperti ini. Betapa tidak sedih Mas, beberapa waktu lalu adik saya meninggal. Lalu karena warga Buddha sudah kocar-kacir, maka kami sempat bingung bagaimana cara merawat jenazah dan pemakamannya secara agama Buddha. Akhirnya dikebumikan seadanya secara tata cara agama lain, asal segera bisa selesai saja. Ini terjadi karena kami tidak tahu dan tidak pernah diajarkan Mas…”.
Mbah Dharmadi yang saat wawancara matanya berkaca-kaca, juga sempat menyampaikan keluhan. Bagaimana cara membangkitkan kembali agama Buddha di Desa Candirejo. “Tolong Mas, paling tidak ada puja bakti ajeg di wihara Mas. Juga ada pendidikan buat anak-anak kecil. Kasihan, di sini pemeluknya pada lompat pagar. Jumlah pemeluk Buddha nggak lebih dari 20 KK di sini”, tuturnya dengan suara rendah tak bersemangat – sambil beberapa kali mengusap wajahnya. Seperti menahan tangis, tetapi malu untuk ditumpahkan.
Saatnya Menengok Kebudayaan Buddhis di Lereng Utara Ungaran
Sebagai pemeluk Buddha yang baik, kita tentu tidak diajarkan untuk menyalahkan keadaan, menyalahkan diri sendiri, dan apalagi menyalahkan pihak lain. Namun sebagai upāsaka upāsikā yang baik, kita perlu menyadari bahwa seperti demikianlah adanya. Keadaan agama Buddha di lereng timur Ungaran ini adalah hal yang lumrah untuk mematuhi hukum gilir gumanti. Kadang agama Buddha berkembang, lalu kadang surut, demikian terus silih berganti. Kita semua berharap, agama Buddha di Pringapus tidak sedang menuju kepunahan. Tetapi justru awal menuju kebangkitannya kembali. Kebangkitan ini dapat dipantik bila kita mau menengok tinggalan leluhur di masa lalu.
Selain kebudayaan bercorak Siwa, lereng Gunung Ungaran juga menyimpan tinggalan kebudayaan Buddhis. Bila di Pringapus sempat ditemukan arca Buddha berbahan batu dengan gaya wara mudra. Demikian juga sekitar 50 KM di sebelah barat Candirejo, Pringapus. Tepatnya di sebuah bukit di Kelurahan Ngemplak Simongan, Kecamatan Semarang Barat, Kota Semarang.
Di bukit ini pada tahun 1927 pernah ditemukan arca Mañjuśrī berbahan perak dengan teknik cor tinggalan abad ke-X. Arca bercorak Buddhis dengan gaya wara mudra ini, sekarang disimpan di Museum Nasional. Mañjuśrī seberat 10 Kg ini tercatat sebagai temuan seni logam terbaik yang pernah ada di Pulau Jawa.
Artinya, sudah saatnya para pemeluk Buddha bangkit bergandengan tangan untuk saling mendukung. Sebab surut atau majunya kebudayaan Buddhis, sangat bergantung pada guyup-rukun para pemeluknya. Pandita Suradi beserta pemeluk Buddha di Pringapus sungguh sangat menantikan kehadiran dan dukungan kita semua. Kapan Anda akan berkunjung?
Penulis: Dhammatejo W.
Foto wihara: Daryana
5 Comments
Dinka Phito Dipankhara
Terus semangat romo
Dhamma Nanda Daryana
Tetap semangat dan terus menjadi penyemangat romo… Semoga semua makhluk hidup berbahagia… Sadhu sadhu sadhu
Dhamma Nanda Daryana
Tetap semangat dan terus menjadi penyemangat romo… Semoga semua makhluk hidup berbahagia… Sadhu sadhu sadhu
Bayu Rizki
Tetap semangat. Pasti bisa. Kapan2 ayo main2 kesana.
Bhumi
Magan ora magan sing penting ngumpul…selama umat Buddha disana masih semangat…untuk loncatnya bisa jauh,Kadang kita perlu berjalan mundur agak sedikit… bantuan pasti akan datang…zamannya Buddha Jayanti di seluruh dunia…tdk akan salah…Semoga Semua Mahluk Hidup Berbahagia…😊🙏