Carita Wiku lan Pandita

Mengenang 15 Tahun Wafatnya Pandita KB. Sutrisno. Siapakah Beliau?

“Sungguh aku melihat air yang tergenang membawa bau yang tak sedap. Namun jika ia terus mengalir, maka air itu akan menjadi bening dan sehat untuk diminum. Jika engkau biarkan air itu tergenang, maka ia akan keruh dan membusuk”, Pepatah Imam Syafii.

Pepatah bijak tentang filosofi air ini menunjukkan semangat Sutrisno yang sepanjang hidupnya sangat perduli pada generasi muda Buddhis di Jawa Tengah. Pada dekade tahun 1980 hingga awal dekade tahun 2000-an, bisa dibilang adalah dekade emas muda-mudi Wihara Maha Dhamma Loka, Tanah Putih, Semarang. Sebagai wihara yang terletak di jantung kota Semarang, sekaligus ibu kota provinsi, Wihara Tanah Putih selalu menjadi jujugan para perantauan dan pejalan spiritual juga ritual. Para perantau terdiri dari siswa, mahasiswa, dan karyawan dari berbagai kota di Indonesia, untuk studi maupun karir. Pejalan spiritual terdiri dari para bhikkhu-samanera, rama pandita, hingga pengiring bhikkhu sangha. Ini karena Wihara Tanah Putih selalu  menjadi penghubung dan transit bagi mereka yang akan menuju Candi Mendut, dan Borobudur untuk peringatan hari besar agama Buddha seperti Tri Suci Waisak.

Di saat itulah Wihara yang puja bakti awalnya dimulai pada Oktober 1964 ini, seolah menjadi kolam yang menampung air. Tatkala para siswa dan mahasiswa perantauan menempuh studi di beberapa sekolah dan perguruan tinggi di Semarang. Mereka turut aktif menyumbangkan sumber daya untuk meramaikan kegiatan wihara. Demikian juga para karyawan dari luar kota yang meniti karir di kota lunpia ini. Mereka turut pula aktif berkegiatan di wihara indah yang saat itu diasuh Bhikkhu Khemasarano Mahathera sebagai kepala wihara. Setelah para siswa dan mahasiswa lulus kuliah dan kembali ke kota asal atau bekerja di kota lain. Segera munculah generasi baru yang meneruskan kiprah mereka. Namun ada pula yang kemudian tertambat di kota Semarang karena menemukan jodoh dan atau karir di sini. Begitulah terus menerus rotasi itu bagaikan air yang mengalir. Wajah lama berganti wajah baru. Pegiat lama memberi kesempatan pegiat baru. Muda-mudi yang menua dan sudah banyak pengetahuan dan pengalaman, dengan legowo lengser untuk didapuk menjadi sesepuh dan penasihat. 

Pandita KB. Sutrisno, B.B.A. (busana Magabudhi kanan depan), saat mengikuti Musda Magabudhi Jawa Tengah, sekitar tahun 1998

Tiga Macam “Air” yang Mengalir di Wihara Tanah Putih
Selain pendatang dari luar kota seperti di atas yang bagaikan “air” yang ditampung di Wihara Tanah Putih. Terdapat juga hadirnya banyak anak-anak sekolah minggu Buddhis. Anak-anak ini rata-rata berasal dari sekolah-sekolah dari wilayah Pecinan Semarang. Katakanlah mereka bagaikan air yang mengalir dari sumbernya sendiri, “Cah Semarang Dewe”, demikian istilahnya. Oleh guru agama Buddha di sekolah masing-masing, mereka diberi tugas untuk hadir puja bakti di wihara. Lantas, mereka berkegiatan, dan melengkapi tugas yang diberikan para guru. Ada yang berasal dari Sekolah Nusaputera, Karangturi, Mataram, dan sekitarnya. Baik dari jenjang TK, SD, SMP, maupun SMA dan sederajat. Selain itu, terdapat pula anak-anak dari keluarga pandita di luar kota, para karyawan wihara, dan anak-anak sekolah maupun kuliah yang dititipkan ke wihara untuk belajar atau bekerja sambil membantu Wihara Tanah Putih. Untuk yang belakangan ini, bolehlah kami sebut sebagai “air” yang ketiga. Nah ketiga jenis muda-mudi yang ibarat air ini sungguh indah pada waktu itu. Mereka mudah berbaur, saling mendukung-membantu, dan terikat satu sama lain di dalam kebersamaan wadah yang bernama “Generasi Muda Dayaka Sabha Wihara Tanah Putih”, disingkat GM-DSVTP.  

Sosok di Balik Kompaknya GM-DSVTP
Semua air yang cair itu diikat sebuah tali persaudaraan dilandasi semangat sebagai orang timur yang guyup, rukun, gotong-royong, dan saling menghormati. Bahkan saking guyupnya, mereka tidak hanya berkegiatan antar mereka sendiri di Semarang. Namun secara berkala seringkali mengadakan wisata sekaligus berbagi pengetahuan Dharma kepada muda-mudi lain di luar kota. Jadilah kemudian, dari wihara ini, tersambung ikatan persaudaraan dengan muda-mudi di wihara-wihara lain di berbagai kota, khususnya di wilayah Jawa Tengah. Selain faktor-faktor alamiah itu, sebenarnya ada pemantik sekaligus pendorong semangat persaudaraan para muda-mudi Wihara Tanah Putih dan muda-mudi di Jawa Tengah. Yaitu sebuah inspirasi dari sosok tokoh berwibawa yang mampu merangkul semua warga (umat) Buddha itu. Siapakah sosok itu?

Satu dari sekian deret sosok tokoh sesepuh yang rajin memoles dan menjernihkan tiga jenis muda-mudi bagaikan air itu, adalah seorang rama pandita santun bernama Sutrisno. Nama lengkapnya adalah Pandita Kumarajiva Budhi Sutrisno, B.B.A. (1945-2004). Sutrisno adalah pemuda yang lahir pada tanggal 10 Agustus 1945, dari Desa Cungkup, Kecamatan Sidorejo, Kota Salatiga. Ia putra pertama dari sebelas bersaudara pasangan Ambyah Martodarsono dan Siti Aminah. Sutrisno beristrikan Sri Gunani Tri Hardiani (1951-1998), putri bungsu dari lima bersaudara pasangan Hardjosendjoyo dan Sonah, dari Yogyakarta. Sebelum memeluk Buddha Dharma, Sutrisno meniti karir awal sebagai seorang kasir di Bank Amerta di JL. Kepodang, Semarang. Setelah perkenalannya dengan Om Santoso (Tan Iksan?), Sutrisno mulai mengenal keyakinan pemujaan pada Kwan She Iem Poo Sat. Ia sering belajar dan berdiskusi dengan guru spiritualnya itu bersama Pak Lik (Om)-nya yang bernama Sugiono (Salatiga, 1940). Kebetulan pada sekitar tahun 1965, Pak Lik Sugiono yang sama-sama merantau ke Semarang, mendapat pekerjaan sebagai penjaga malam dan tukang sapu di sebuah rumah. Letaknya tepat berada di samping Ruang Metta Karuna/Wihara bawah, sekarang rumah itu menjadi rumah seni Bale Gong.

Bulletin majalah Sinar Dhamma Loka yang menggantikan judul sebelumnya, Sinar Tjakra

“Jaman itu masih susah buku, dan fotokopi. Untuk mendapatkan bacaan Buddhis, kami harus mencatatnya di buku tulis. Kadang bersyukur dapat sobekan kertas berisi petikan paritta. Jadi tak perlu menulis”, tutur Sugiono yang pada tahun 2004 dilantik menjadi pandita muda Magabudhi. Pada tahun-tahun awal setelah berdirinya organisasi “Buddhis Indonesia” pada tanggal 1 Januari 1965, yang kemudian dijadikan juga sebagai hari lahir Wihara tanah Putih. Terdapat muda-mudi sebaya dengan Sutrisno, dan aktif mempelopori meriahnya kegiatan di Wihara Tanah Putih. Mereka adalah Suryaputta Ks. Suratin (wafat 2001), Dharmaratna Henry Basuki, B.A. (1946-2016), Dharmakusuma Setiabudhi, B.E., Gunavarman Halim, kakak beradik Sri Widyawati dan Nanik Lisawati, kakak beradik Dharmarini Goei Swan Hwa dan Dharmayu Goei Swan Tjoe, Vajira Siek, Asoka Andy Yuwana, Benny Harijanto Budiyono, M.B.A., Oh Khik Gie, dan masih banyak lagi.

Saat itu, salah satu tokoh senior penggeraknya adalah pemuda Koo Cie Sien yang tinggal dan membuka toko di Jl. Kepodang, tepat di samping Bank Amerta. Para pemuda itu berjasa besar dengan kepeloporannya menerbitkan bulletin/majalah berkala bernama, “Sinar Tjakra” (terbit tahun 1965), yang kemudian berganti nama menjadi “Sinar Dhamma Loka” (mulai tahun 1973). Henry Basuki yang saat itu menjadi pemimpin redaksi sering menyambangi Koo Cie Sien untuk keperluan penerbitan bulletin. Pada kesempatan itulah kemudian, Henry Basuki yang juga berurusan dengan transaksi bank di Bank Amerta, sering berjumpa Sutrisno. Singkat kata, Sutrisno kemudian diajak Henry Basuki untuk puja bakti dan aktif di Wihara Tanah Putih.

Murid Rama Mangoenkawatja
Setelah aktif di Wihara Tanah Putih, Sutrisno bersama muda-mudi lain menjadi murid dari Rama Mangoenkawatja. Nama yang tidak asing bagi peminat sejarah Buddhis di awal abad ke-XX ini adalah upasaka bumi putera pertama. Ia diwinisudha Bhikkhu Narada Mahathera di Candi Borobudur pada kunjungan pertamanya tahun 1934. Sebagai orang Jawa yang semanak dan bersamangat guyup, Sutrisno cepat sekali menyesuaikan diri dan tampil sebagai tokoh pemimpin muda Wihara Tanah Putih. Pengalamannya di dunia perbankan dan luasnya pergaulan dan pengetahuan protokoler dengan pemerintah, membuat Sutrisno seringkali menjadi andalan warga Buddha.

Sampai pada suatu ketika, ada satu hal “nekad” yang ia lakukan demi majunya pendidikan agama Buddha. Waktu itu Rama Mangoenkawatja memintanya untuk mengajar pelajaran agama Buddha di sekolah-sekolah. Dengan tegas ia menjawab sanggup tanpa memikirkan bagaimana teknis pelaksanaannya. Padahal, jam pelajaran sekolah berlangsung pada jam kerjanya sebagai karyawan bank. Tidak mungkin ia bisa bebas keluar masuk kantor dan meninggalkan pekerjaan hanya untuk mengajar di sekolah untuk kemudian kembali lagi ke kantor. Maka suatu malam di pertengahan tahun 1970-an, Sutrisno yang waktu itu tinggal di Desa Delik, Tandang, Kecamatan Candisari, tak jauh dari wihara, mencoba membujuk sang istri.

Maka malam itu Bu Ani, demikian istri Sutrisno biasa disapa, merasakan “malam terberat” dalam hidupnya. Sutrisno dengan santai meminta istrinya itu untuk menggantikannya mengajar di sekolah-sekolah yang sudah ia sanggupi. Merasa tak punya pengalaman apalagi pengetahuan tentang agama Buddha. Bu Ani sempat sewot dengan tugas dadakan yang diberikan Sutrisno. “Waktu itu saya bujuk Bu Ani mengajar. Malam harinya saya ajari materi apa yang harus diajar. Pagi hari Bu Ani mengajar apa yang dipelajarinya dari saya. Lalu hari minggunya suruh saja anak-anak datang ke wihara biar dapat nilai. Begitulah akhirnya Bu Ani mau mengajar dan menjadi guru agama Buddha. Meski awal-awalnya sempat gemreneng. He-he-he”, demikian tutur Pandita KB. Sutrisno, B.B.A. saat mengisi Dhammadesana di Wihara Tanah Putih dengan gaya guyonannya yang khas, kala itu. Namun berkat pasangan itulah kemudian, kegiatan sekolah minggu dan muda-mudi Wihara Tanah Putih menjadi ramai dan meriah. Kini banyak mantan murid Bu Ani menjadi pentolan pegiat di Wihara Tanah Putih, Wihara Buddha Gaya Watu Gong, Magabudhi, dan Patria.

Ikut Menorehkan Sejarah Penting Nasional
Setelah terbentuk kegiatan sekolah minggu dan muda-mudi Wihara Tanah Putih. Sutrisno menjadi pandita Mapanbudhi sejak tahun 1985, dengan nomor anggota 86. Artinya, ia termasuk deretan dari 100 orang pandita pertama Mapanbudhi (kemudian Magabudhi) di Indonesia. Oleh warga Buddha di Semarang, Sutrisno sering dipanggil dengan nama sapaan, “Rama KB (Sutrisno)”, akronim dari Kumarajiva Budhi. Selain “keisengan” meminta sang istri untuk menjadi guru agama Buddha dadakan yang kemudian berhasil gemilang. Rama KB Sutrisno sempat pula menorehkan sejarah penting nasional.

Saat Ibu Supangat Prawirokusumo dari Yogyakarta menggagas berdirinya sebuah pusat studi Buddhis nasional di Mendut. Pada tanggal 23 Juli 1975, Rama KB Sutrisno turut mendampingi Ibu Supangat, Panji Suprana, dan Suriyaputta Ks. Suratin, menghadap Gubernur Jawa Tengah, Supardjo Rustam. Lalu selanjutnya, pada tanggal 29 Juli 1975, mereka didampingi Bhikkhu Jinnapiya (kemudian Bhikkhu Thitaketuko), Brigjend. Suraji Aryakertawijaya (Ketua PB BUDHI saat itu), dan Tan Liong Tie, kembali menghadap Gubernur. Mereka mengutarakan maksud pembangunan Pusat Studi Buddhis Indonesia di Mendut. Di kemudian hari, harapan para sesepuh tersebut terwujud dengan berdirinya Wihara Mendut yang sekaligus adalah Lembaga Pendidikan Samanera di bawah asuhan YM. Sri Pannyavaro Mahathera dan YM. Dr. Jotidhammo Mahathera.

“Memborong” Rangkap Tugas Berbagai Jabatan Sosial
Sebagai tokoh muda yang berpengetahuan luas dan jago berbicara di depan umum. Rama KB. Sutrisno meraih kepercayaan untuk mengisi “jabatan” organisasi yang bersifat sosial. Bukan hanya organisasi agama Buddha, namun juga organisasi sosial dan profesi. Di organisasi agama Buddha, ia pernah menjabat sebagai Pengurus Yayasan Buddha Santi yang semula adalah yayasan yang menaungi krematorium di JL. Dr. Cipto. Setelah menaungi Wihara Tanah Putih, yayasan ini berdiri sendiri bernama Yayasan Pancaka Kedung Mundu, dan Rama KB Sutrisno duduk di kepengurusannya. Ia juga pernah menjabat sebagai Pengurus Yayasan Buddha Gaya, Ketua Mapanbudhi Kota Semarang, Ketua PD Magabudhi Jawa Tengah, Ketua Perwalian Umat Buddha Indonesia (Walubi lama) di Kota Semarang, dan Jawa Tengah, Pengurus Yayasan Rumah Sakit Telaga Rejo Semarang, Rotary Club Kunthi Semarang, dan masih banyak lagi.

Sebagai orang yang “terkenal” oleh berbagai kalangan, Rama KB. Sutrisno tentu mempunyai pengalaman sendiri. Ia adalah pengurus organisasi yang siap menjadi ujung tombak sekaligus ujung tombok kegiatan agama Buddha. Bersama Bhikkhu Khemasarano Mahathera, Rama KB. Sutrisno disiplin menjaga arus kas Yayasan Buddha Santi. Ini karena pengalamannya sebagai seorang kasir bank yang kemudian menjadi manajer bank, dan sempat menjadi Kepala Cabang Bank Niaga Ahmad Yani, Semarang. Selain itu, Bhante Khemasarano Mahathera sendiri sebelumnya adalah seorang perumah tangga yang pernah menjadi PNS di Departemen Pekerjaan Umum dan sebelum pensiun menjabat sebagai Bendahara Departemen (sekarang kementerian).

Jadilah kemudian kolaborasi disiplin manajemen keuangan keduanya, dalam mengawal perkembangan Wihara Tanah Putih. Berdasarkan penuturan Dyah Kumalarini, putri pertama Rama KB Sutrisno, ayahnya sangat teliti, disiplin, dan terbuka dalam mencatat setiap transaksi keuangan yayasan. Rini sangat ingat bagaimana ayahnya dulu harus bertindak tegas dalam menertibkan laporan-laporan keuangan kegiatan yang kepanitiaannya diurus muda-mudi. Bahkan tak tanggung-tanggung, ayahnya yang mencatat dengan teliti daftar inventaris wihara, pernah mendatangi oknum mantan pengurus yang sudah berpindah agama. Namun masih membawa inventaris wihara berupa alat musik. Meski harganya tidak seberapa, ayahnya menuturkan bahwa pertanggungjawaban itu perlu. Ini karena yang dikelola adalah uang dan aset warga Buddha, bukan milik pribadi.

Tradisi Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Dayaka Sabha Wihara Tanah Putih. Kegiatan ini selalu dijaga dan dirawat oleh Yayasan Buddha Santi, PC Magabudhi Kota Semarang, dan Kepala Wihara Tanah Putih pada setiap akhir periode masa bakti kepengurusan

“Keisengan” Lain
Sewaktu sering keliling daerah ke desa-desa di Jawa Tengah, Rama KB. Sutrisno sering pula “disambati” warga Buddha. Pernah suatu ketika ada seorang upasaka yang mempunyai usaha madu dengan berternak tawon madu sendiri. Setelah musim panen tiba, si upasaka kesulitan memasarkan hasil madu yang sudah dikemas ke dalam botol-botol kaca. Tergerak ingin menyemangati warganya yang berwirausaha, Rama KB. Sutrisno dengan spontan memborong madu yang ditawarkan. Lucunya, ia hanya menaruhnya di rumah, tidak memasarkannya. Ia hanya menawarkan kepada tamu, saudara, atau tetangga. Namun masih saja persediaan madunya itu belum habis-habis juga. Sampai suatu ketika, terjadi kehebohan kecil dirumahnya yang terletak di Karangrejo, belakang Kantor PLN Jawa Tengah, Jatingaleh.

Suatu siang, terdengar ledakan keras menyerupai suara letusan pistol atau senapan dari botol-botol madu yang disimpannya. Bukanya panik atau merasa rugi karena madu di dalam botol berhamburan. Rama KB. Sutrisno dengan santai hanya menanggapi, “Lha tenan to, iku berarti madune asli”. Demikian kata beliau yang disampaikan kepada Rini putrinya. Tanpa sedikitpun ia merasa rugi atau dirugikan karena sudah memborong dagangan madu salah satu warga Buddha yang dicintainya. Rini sendiri tidak ingat, kapan persediaan madu itu habis karena saking banyaknya. Ia hanya geli bila teringat rumahnya sering mendadak menjadi “gudang” organisasi. Ini karena banyak sekali barang-barang untuk kegiatan hari raya seperti perayaan Waisak, harus dilembur dikerjakan di rumah bersama keluarga dan pekerja yang diupah dari kantong sendiri.

Pada pertengahan dekade tahun 1980-an, Rama KB. Sutrisno sempat dipindah tugaskan kantornya ke Kota Kudus. Di kota yang di zaman Majapahit bernama Tajug ini, Rama KB. Sutrisno masih menyempatkan diri mengasuh warga Buddha di sekitar. Salah satunya adalah Wihara Dhammadipa yang terletak di Dusun Pandak, Desa Colo, Kudus. Saat itu warga Buddha di sana masih puja bakti di wihara yang masih berada di atas tanah pinjaman seorang warga Buddha. Pada sekitar akhir dekade tahun 1990-an, atas jasa Rama KB. Sutrisno, warga Buddha tersebut mendapat sumbangan tanah yang dibeli oleh donatur yang merupakan pengusaha konveksi besar di Solo. Puncaknya, wihara tersebut diresmikan pada 25 Mei 2001 oleh Bhikkhu Dhammasubho Mahathera dan Bupati Kudus, Munajad. Uniknya, menjelang waktu peresmian, sebuah fenomena alam muncul dengan adanya gempa kecil yang dapat dirasakan semua yang hadir. Namun, gempa yang terjadi di gunung Muria itu tidak menimbulkan kerusakan. Tanda bahwa para dewa turut berbahagia dan hadir melimpahkan berkah manggala.

Pandita KB. Sutrisno. B.B.A. (duduk membelakangi altar) saat menyampaikan sambutan di depan Peserta Malam Keakraban Muda-Mudi Buddhis Jawa Tengah. Sekitar akhir tahun 1996

“Firasat Pemercikan Air”
Pada awal tahun 2004, Rama KB. Sutrisno yang sudah sangat akrab dan dikenal para bhikkhu dan pandita senior itu, tiba-tiba melontarkan gagasan tidak biasa. Pada rapat penyusunan program kerja Dayaka Sabha Wihara Tanah Putih, ia meminta setiap selesai puja bakti, para bhikkhu memberikan pemercikan air paritta kepada semua upasaka-upasika. Bila kebetulan tidak ada bhikkhu, maka pandita bisa melakukan pemercikan air sambil membacakan paritta pemberkahan. Tentu saja bhikkhu yang mendegar gagasan tersebut tidak sependapat, karena seyogyanya yang memberikan pemberkahan adalah bhikkhu kepada upasaka-upasika. Sebab tugas pertama dan utama seorang pandita Buddha adalah memimpin upacara perkawinan. Bukan melakukan ritual yang seharusnya dilakukan para bhikkhu.

Namun, bukan Rama KB Sutrisno kalau tidak iseng. Saat ia hadir mengikuti puja bakti, Rama KB Sutrisno tetap saja melakukan pemercikan air. Kadang ia minta Pandita Muda Aries Sugiharto atau Pandita Muda Mettananda Martono untuk melakukan pemercikan air. Ewuh dengan para bhikkhu, kadang saat Rama KB. Sutrsino tidak hadir puja bakti, para rama pandita tersebut tidak melakukan pemercikan air. Ketidakhadiran Rama KB. Sutrisno itu karena ia beberapa kali sempat dirawat di rumah sakit, dan menjalani pemulihan rawat jalan di rumah, pada bulan-bulan berikutnya.

Sampai suatu hari di minggu kedua bulan Juli 2004, warga Buddha disibukkan dengan prosesi duka citta mendiang Ibunda Bhikkhu Jagaro dari Cilacap. Saat itu para pengurus Magabudhi dan Pengurus Wihara Tanah Putih turut membantu prosesi kremasi di Pancaka Ambarawa. Rama KB. Sutrisno yang baru saja keluar dari rumah sakit, tentu saja tidak bisa turut serta. Namun ia meminta perwakilan rombongan pelayat untuk mengambil daftar riwayat hidup mendiang Ibunda Bhikkhu Jagaro, untuk dibacakan pada seremoni acara. Satu rombongan mobil yang dikendarai pengurus PD Magabudhi dan Pengurus Wihara Tanah Putih sempat mampir ke kediamannya, dan bertegur sapa sesaat. Kebetulan karena terburu-buru, penulis yang turun sendiri dari kendaraan dan menuju teras halaman untuk mengambil kertas naskah yang sudah disiapkan.

Saat itu, Rama KB. Sutrisno tampak pucat dan susah berjalan. Setelahnya kendaraan memutar arah dan bersiap melanjutkan perjalanan. Namun mendadak, dengan sedikit susah payah, Rama KB. Sutrisno mengejar mendekati kendaraan untuk mengobrol sebentar. Saat itu, ia sempat berkata, “Aku ki rak popo. Mung kecentok makan udang pas kondangan acara kawinan putra Pak Wirjo Lukito (Pengurus Yayasan Buddha Gaya-pen)”. Khawatir acara kremasi di Ambarawa terlambat, kendaraan hanya berhenti sebentar dan tancap gas meninggalkan kediamannya. Saat itu, tampak Rama KB. Sutrisno hanya diam memandangi kepergian kendaraan yang ditumpangi para yuniornya dari depan pintu pagar rumah.

Setelahnya, semua baik-baik saja. Tidak ada khabar berita atau peristiwa apapun terjadi. Hingga seminggu kemudian, tepatnya pada Jumat petang tanggal 23 Juli 2004. Datang khabar duka dari keluarga, bahwa Rama Pandita Kumarajiva Buddhi Sutrisno, BBA baru saja wafat di RS Elisabeth. Beliau telah meninggalkan kita menuju alam kelahiran yang berikutnya, tanpa sakit dan dirawat di rumah sakit. Rupanya, pertemuan itu adalah perjumpaan terakhir beliau dengan perwakilan warga Buddha yang ia cintai selama ini. Di sela-sela suasana perkabungan yang dihadiri ribuan pelayat dari berbagai kalangan yang hadir silih berganti. Datanglah kisah haru yang disampaikan sanak saudara dan tetangga. Bahwa satu hari sebelum wafatnya, Rama KB. Sutrisno sempat berjalan kaki keliling kampung untuk mendatangi dan menyalami tetangganya satu-per-satu. Tanda kewaskitaan seorang pandita wicaksana, yang ingin berpamitan sebelum kondur kasedhan jati.

Pada saat upacara perkabungan yang dihadiri pejabat Dirjen Bimas Hindu Buddha, Bapak I Wayan Suarjaya. Rama Pandita Dharmaratna Henry Basuki, BA. yang menuliskan riwayat hidup mendiang sempat berguman, “Oalah…jebul iki to firasate Mas Tris nyuwun pandita memberikan pemercikan air pemberkahan setelah puja bakti selesai”. Jadi, itulah cara Rama KB. Sutrisno berpamitan pada warga Buddha di Wihara Tanah Putih. Seolah beliau mengingatkan pada kita yang ditinggalkan, agar belajar dari filosofi air bagi regenerasi muda-mudi Buddhis.

Di bulan Juli 2019 ini, tepat 15 tahun Rama KB. Sutrisno meninggalkan kita. Sudah selayaknya warga Buddha yang puja bakti di wihara-wihara binaan Magabudhi, khususnya di Wihara Tanah Putih, dan Wihara Buddha Gaya Watu Gong. Untuk sudilah memetik pesan mendiang Rama KB. Sutrisno 15 tahun lalu. Yaitu, memastikan regenerasi muda-mudi Buddhis terjamin teratur seperti air yang mengalir. “Jika air terus mengalir, maka ia akan menjadi bening dan sehat untuk diminum. Namun jika engkau biarkan air itu tergenang, maka ia akan keruh dan membusuk”. Demikian pepatah Imam Syafii. Tepatkah analogi regenerasi muda-mudi Buddhis disamakan dengan filosofi air itu?

Penulis: Dhammatejo W.
Editor: Cittasukho W.

Share it!
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *