“Meluruskan” Lombok, Pulau Penyelamat Rontal Nāgarakṛtâgama
“Lamun sira ngamuk, luwih aji ngalah lan ngalih, saperlu utamakna tumindak welas asih mring sasama”.
Terjemahan bebas:
Ketimbang marah, lebih berharga bila engkau mengalah dan menyingkir untuk mengutamakan perilaku welas asih kepada sesama, ~ Pepatah Danyang Wanara
Pulau Lombok Diperebutkan Belanda-Inggris
Pada tanggal 18 Juli 1894, tiga kapal KNIL Belanda; Prins Hendrik, Koningin Emma, dan Tromp bergerak dari Batavia menuju Pulau Lombok. Kedatangan pasukan Belanda ke Lombok dalam rangka menjalankan dua misi.
Misi pertama adalah menghentikan upaya Raja Mataram agar tidak bekerjasama dengan Inggris. Tujuan kedua adalah ikut campur atas persoalan kedaerahan antara Suku Sasak di Desa Praya dengan Kerajaan Mataram, Lombok.
Keselarasan Islam dan Siwa-Buddha di Lombok
Sebelum Belanda datang, mulai abad ke-15, orang Sasak di Lombok telah memeluk Islam. Agama Islam dibawa dari Jawa sesudah rubuhnya Wilwatikta (Wilwatikta adalah nama asali Majapahit, Majapahit adalah nama hoax sejarah).
Kehadiran Islam di Lombok semakin berkembang sejak kedatangan orang-orang Sulawesi Selatan dan mendirikan Kerajaan Islam Selaparang pada abad ke-16. Meluasnya Islam di tengah masyarakat Lombok yang sebelumnya memeluk Siwa-Buddha dan kepercayaan setempat, dapat selaras dengan dukungan kebijakan raja.
Hal ini seperti ditulis Erni Budiwati (2000:9) dalam, “Wetu Telu versus Waktu Lima” yang menyebut bahwa Pemerintahan Kerajaan Mataram yang merupakan cabang dari Kerajaan Karangasem, Bali memperlihatkan kearifan dan toleransi yang besar terhadap penduduk lokal. Mereka membiarkan penduduk tetap memeluk dan mempraktikkan ajaran Islam.
Belanda Mainkan Politik Adu Domba Di Lombok
Tiga kapal KNIL Belanda yang mendarat di Lombok berisi 107 orang perwira, 1.320 tentara Eropa, 948 tentara bumiputera, dan dukungan 386 ekor kuda. Kedatangan Belanda disambut perang gerilya penduduk Lombok dan sempat membuat Belanda kewalahan karena sekitar 500 orang serdadunya tewas memalukan.
Pada bulan Agustus 1894, datang bantuan 1.000 orang tentara baru dari Batavia ke Lombok. Setelah perencanaan yang masak, Belanda menyerang Istana Cakranegara tempat kediaman Raja Karangasem pada tanggal 8 Nopember 1894.
Dalam perang ini, lebih dari 2.000 pasukan Bali-Mataram gugur dan Belanda hanya kehilangan 166 orang tentaranya. Usai perang yang membumi hanguskan istana, Belanda menjarah rayah harta kerajaan berupa 453 kg emas, 7.000 kg perak, 75 peti berisi permata batuan mulia dan perhiasan. Serta tak ketinggalan berlimpah pustaka rontal (lontar) dan senjata adat Kerajaan.
Belanda “Temukan” Kejayaan Wilwatikta di Istana Cakranegara
Dalam perang keji tak beradab antara bangsa Eropa yang pongah melawan penduduk Lombok. Terdapat seorang sejarawan dan sastrawan Belanda bernama J.L.A. Brandes turut serta. Pada tanggal 19 November 1894 seseorang melaporkan temuan rontal kuna di dalam pendapa yang berada di tengah taman kolam air istana dan menunjukkan pada Brandes.
Saat ditemukan, rontal sedang dalam keadaan di luar kropak (kotak penyimpanan) yang berarti sedang dibaca pustakawan istana beberapa saat sebelum istana diserang Belanda. Setelah diteliti, Brandes mengetahui bahwa rontal ini berisi karya sastra berjudul Deçawarṇana (Brandes memberinya judul, Nāgarakṛtâgama).
Dengan berakhirnya perang, Belanda berhasil menguasai wilayah Pulau Lombok sepenuhnya termasuk Pulau Bali. Kerajaan-kerajaan di Bali satu per satu dikalahkan Belanda dan mengangkat bangsawan boneka bergelar Tjokorda (Tjokor-nya Dalem yang berarti semula anak buah raja).
Tujuannya adalah untuk mendesakralisasi dan delegitimasi bangsawan Dalem yang masih keturunan Wilwatikta (Di Jawa, keturunan petani rakyat jelata yang tidak berhubungan darah dengan Wilwatikta dijadikan boneka Belanda melalui Perjanjian Giyanti 1755, ditandai berdirinya Kasunanan Surakarta). Sejak saat itu, Pulau Bali dan Pulau Lombok yang dikenal indah dan cantik dikendalikan penuh oleh Belanda dari Singaraja sampai kedatangan Jepang tahun 1942.
Hutang Besar Amerika-Inggris-Belanda Pada Lombok dan Nusantara
Sejarah Indonesia mencatat, Belanda, Inggris, dan beberapa negara Barat lainnya adalah negara rakus yang sama-sama ingin merampok harta tanah air melalui badan dagangnya. Belanda mempunyai VOC (vereenigde Oostindische Compagnie) yang berdiri tahun 1602 dan Inggris mempunyai EIC (East Indie Company) yang berdiri tahun 1600.
Kedua badan dagang ini dilengkapi tentara dan sah melakukan tindakan kejam pada penguasa dan penduduk daerah jajahan. Salah satu senjata ampuh bangsa Barat untuk menguasai nusantara selama ratusan tahun adalah politik devide et impera atau adu domba. Taktik adu domba adalah gambaran wajah buruk kebiasaan asli Barat dalam membenturkan penduduk tanah air dengan isu bernuansa SARA.
Giles Milton (2015) dalam, “Nathaniel’s Nutmeg” menulis bahwa pada tanggal 31 Juli 1667, Inggris dan Belanda menandatangani Perjanjian Breda. Isinya menyepakati penyerahan Pulau Niuw Netherland di Amerika Utara dari Belanda kepada Inggris. Sebagai nilai tukar, Pulau Run di kepulauan Banda, Maluku, diserahkan dari Inggris kepada Belanda.
Perjanjian ini muncul sebagai puncak persaingan perebutan rempah-rempah yang harganya super mahal di pasaran Eropa (dan AS). Sesudah itu, Niuw Netherland diganti nama menjadi Manhattan dan bersama empat daerah di sekitarnya menjadi negara bagian yang sekarang kita kenal sebagai New York City.
New York adalah pusat ekonomi-bisnis Amerika Serikat yang hingga kini menjadi lambang kepongahan Barat sebagai negeri adidaya. Namun sadarkah kita bahwa perekonomian Barat (AS-Eropa) berdiri di atas kemelaratan dan kebodohan banyak suku bangsa Indonesia yang diadu domba mereka?
Nenek Moyang Bangsa Indonesia-lah yang membiayai kemajuan Barat
Kembali pada temuan pustaka Deçawarṇana, setelah pustaka dibawa ke Belanda dan diterjemahkan. Brandes mengetahui bahwa pustaka temuannya berisi gambaran keagungan dan kemakmuran Wilwatikta di masa lalu. Gambaran keagungan miniatur Wilwatikta sempat dilihat dengan pandangan mata Brandes sendiri pada Istana Cakranegara sebelum diluluh lantahkan bangsa Eropa yang pongah.
Rubuhnya Istana Cakranegara disusul dikuasainya Pulau Lombok dan Pulau Bali oleh bangsa asing adalah akibat langsung dari politik adu domba. Dimana keberhasilan politik adu domba selalu diawali dari percikan kecil di tengah keadaan sosial masyarakat. Kemudian Barat melalui intelejennya yang biasanya adalah penduduk setempat yang gelap mata dengan uang suap, dengan cepat dapat melihat peluang untuk menguasai suatu negara bangsa.
Selain Belanda, Amerika Serikat juga mengidolakan gambaran kejayaan negaranya seperti di zaman Wilwatikta. Wilwatikta adalah salah satu negeri besar dari ratusan negeri di nusantara lampau. Salah satu pengagum Wilwatikta adalah Presiden Winston Churchill yang sempat meminta bantuan utang dari Belanda melalui Inggris.
Sementara merujuk Raffles dalam The History of Java (1817), jumlah kekayaaan Belanda (yang sebagian diutangkan untuk membangun New York, AS) adalah 3/4 % dari semua kekayaan negara-negara Eropa. Artinya semua negara di Eropa hanya punya 1/4 % saja dari semua kekayaan negara-negara di Eropa (bila semua kekayaan negara-negara Eropa disatukan).
Bila tidak ada Perjanjian Breda 1667 dan saat itu Belanda tidak membantu New York. Maka Amerika Serikat sudah menjadi negara gagal hari ini. Kemudian nama Amerika Serikat hanya tersisa sebagai dongeng untuk menakut-nakuti anak sebagai penghantar tidur.
Sekarang pertanyaannya, dari mana Belanda, Inggris, AS, dan beberapa negara Eropa lain yang mengaku sebagai negara maju dan berhasil mengembangkan ekonomi dan Ipteknya dapat meraih kekayaan?
Lestarikan Budaya Berugak
Jawabannya, saat Perjanjian Breda 1667 dibuat, harga satu butir cengkeh atau pala (rempah-rempah) dari nusantara adalah seharga satu batang emas atau satu rumah mewah di Eropa. Perdagangan rempah-rempah bangsa Barat (yang kemudian sangat membantu perekonomian AS) adalah hasil dari kebiasaan biadab tak beradab mereka dalam mengadu domba suku-suku bangsa di Indonesia.
Belajar dari catatan perjalanan sejarah peradaban Pulau Lombok di atas. Kita dapat merenungkan budaya duduk bersama di Berugak, baik sekenem atau sekepat. Terlebih dengan adanya peristiwa sosial kemasyarakatan di Dusun Ganjar, Desa Mareje, Kecamatan Lembar, Lombok Barat yang terjadi pada Minggu, 1 Mei 2022 lalu.
Bahwa sebijaksana mungkin kedua belah pihak dengan dukungan Pemda dan aparatur keamanan setempat dapat mencari jalan keluar. Caranya adalah dengan duduk bersama di berugak untuk “meluruskan” sejarah besar Pulau Lombok. Sebab kata Lombok artinya adalah “lurus” yang bisa juga bermakna jujur dan baik.
Peristiwa di Dusun Ganjar sama-sama melibatkan sesama saudara sendiri, yaitu sesama orang Lombok. Untuk itu masing-masing pihak harus dapat menghitung kelebihan kekurangan atau untung ruginya bila persoalan ini tidak berakhir damai.
Yaitu, kedua belah pihak akan kehilangan banyak waktu, tenaga, biaya, dan sumber daya lain dengan sia-sia. Sebab kehancuran Istana Cakranegara dan jatuhnya Pulau Lombok, Pulau Bali, dan negara-negara di tanah air adalah buah dari kelengahan kita yang tak sadar diadu-domba bangsa Barat (bahkan sampai hari ini).
Sebagai sesama saudara sebangsa dan setanah air, perselisihan antar kelompok atau suku bangsa, terlebih bila melibatkan isu SARA bakal menghancurkan masing-masing pihak. Seperti kata pepatah, “kalah menjadi abu, menang menjadi arang”.
Waspada Kembalinya Politik Adu Domba
Mengutip pesan di awal tulisan, kedua belah pihak hendaknya sama-sama mengendalikan diri dari amarah. Yaitu, “Ketimbang marah, lebih berharga bila engkau mengalah dan menyingkir untuk mengutamakan perilaku welas asih kepada sesama”.
Bersama-sama, marilah mengingat kembali pesan nenek moyang, “Lombok Mirah Sasak Adi”. Artinya, kejujuran (lurus) merupakan permata kekayaan Lombok yang baik dan utama. Baru-baru ini Sirkuit Mandalika telah membawa nama harum Lombok di kancah internasional. Jangan sampai kericuhan terlebih sampai menggunakan isu SARA semakin meluas.
Sebab selain sirkuit dan wisata, ada cadangan lebih dari 1 miliar ton emas di Nusa Tenggara Barat yang harus bersama-sama diawasi seluruh masyarakat untuk kemakmuran bersama. Bila kita tak lekas bersatu, jangan-jangan harta karun 1 miliar ton emas milik Lombok (NTB) melenggang santai diangkut ke luar negeri.
Bila tersisa sedikit remahan pun, biasanya hanya dinikmati kalangan kecil untuk menambah buncit perut pejabat yang doyan suap. Sementara masyarakat yang bertikai sama-sama tetap miskin, bodoh, dan konyol.
Marilah kedua belah pihak duduk bersama menyeruput minuman rempah hangat di berugak sambil berseru, “Mari bersatu membangun Lombok, waspadai adu-domba antar SARA!”
Penulis: Wanara Wirengsudra
Editor: Metta Surya