Carita Wiku lan Pandita

KISAH TERSEMBUNYI SAAT ASHIN JINARAKKHITA BERDIAM DI WATU GONG-KASSAPA (2)

Ashin Jinarakkhita saat membawa wadah berbentuk stupa berisi relik sehelai kesa (rambut) Buddha. Relik ini dianugerahkan oleh Bhante Narada Mahathera, sesaat sebelum disematkan di Vihara 2500 Buddha Jayanti di Bukit Kassapa, Semarang. Dimanakah relik Buddha ini sekarang berada? (Sumber: Dokumen-arsip Badra Santi Institute)

Berjumpa Ir. Sutopo, M.Sc. atau Goei Thwan Ling
Mulai bulan Januari 1955, melalui jaringan Perhimpunan Theosofi Indonesia dan G.T.I., Ashin Jinarakkhita berkelana dari satu kota, ke kota lainnya untuk membabar Buddhadhamma. Salah satu kota yang sering dikunjungi Ashin Jinarakkhita adalah Kota Semarang. Ia secara ajeg mengisi ceramah di Kelenteng Tay Kak Sie, Jalan Gang Lombok, Kompleks Pecinan Semarang.

Pada saat itu, terdapat seorang pengurus kelenteng bernama Oei Tiong Tjio yang sedikit sudah paham tata cara merawat seorang bhikkhu. Ia bahkan sempat membuat bangunan pondok di kediamannya, sebagai tempat tinggal sementara Ashin Jinarakkhita selama berada di Semarang.

Namun setelah beberapa kali kunjungan dan menginap di pemondokan umat. Oleh karena dirasa kurang pantas bila seorang bhikkhu tinggal di rumah perumah tangga. Lantas Oei Tiong Tjioe meminta tolong kenalannya yang bernama Goei Thwan Ling (Ir. Sutopo, M.Sc.). Goei Tjwan Ling adalah anak pasangan Goei Ing Djiem dan Liem Ik Nio, pengusaha perkebunan kaya di era kolonial.

Sejak tahun 1923, keluarga Goei Thwan Ling menguasai tanah Hak Erfpacht, beberapa nomor perbonding. Letaknya berada di Desa Banyumanik, Kawedanan Ungaran, Kabupaten Semarang (sekarang masuk wilayah Kota Semarang). Di tanah perkebunan keluarga Goei Thwan Ling terdapat sebuah villa yang letak dan suasananya mendukung untuk tempat tinggal seorang bhikkhu.

Di villa itulah kemudian Goei Thwan Ling berkenan menerima Ashin Jinarakkhitta berdiam. Peristiwa bersejarah ini disambut baik upāsakā-upāsikā yang tergabung dalam G.T.I. Untuk menaungi kegiatan Buddhadhamma di villa milik Goei Thwan Ling, pada tanggal 19 Oktober 1955 didirikan Yayasan Buddha Gayā.

Kemudian vihara sementara yang ditempatkan di salah satu ruangan villa diberi nama Vihara Buddha Gayā (Sumber: Kep.Kemenkumham RI. No. AHU-1438.AH.01.02. Tahun 2008 Tentang Pengesahan YBG). Dalam perkembangan selanjutnya, Vihara yang terletak di Desa Pudak Payung ini lebih dikenal dengan nama toponiminya sebagai “Vihara Watu Gong” (mengenai asal-mula nama Watu Gong, dijelaskan menyusul).

Meskipun berdirinya Vihara Buddha Gayā, Watu Gong bersifat sementara (darurat), dengan status tanah pinjaman dan bangunan villa yang sudah berdiri (tidak dibangun khusus sebagai vihara). Namun Vihara ini dapat disebut sebagai vihara pertama bercorak Theravāda di Indonesia secara de facto. Artinya, lahan dan bangunan villa secara fungsi sudah menjadi tempat kediaman seorang bhikkhu (vihara: rumah bhikkhu).

Berdirinya Vihara Pertama Bercorak Theravāda di Indonesia
Sampai dengan tahun 1958, villa keluarga dimana berdiri Vihara Buddha Gayā  terus berkembang. Di Vihara ini, Ashin Jinarakkhita tinggal bersebelahan kamar dengan pemilik villa. Sementara itu, ruang tamu villa digunakan sebagai bakti sala (Dhammasala) sementara.

Sehari-hari, Ashin Jinarakkhita melakukan kegiatan ajeg sebagai seorang bhikkhu secara mandiri. Ia membersihkan sendiri setiap ruangan dan halaman, serta memasak sendiri menu makanannya.

Sampai pada suatu hari, hadir seorang pemuda anggota Theosofi dari Surakarta yang membaktikan diri. Nama pemuda itu Pangeran Ananda Suyono Hameng Sutrisno. Ia membantu kegiatan dan mempersiapkan keperluan sehari-hari Ashin Jinarakkhita. Pemuda Ananda Suyono mengabdikan diri pada Ashin Jinarakkhita hingga bulan November 1964.

Bukit Kassapa Zaman VOC Belanda
Setelah setahun hidup berdampingan dengan seorang bhikkhu. Goei Thwan Ling terkesan dan ingin mendukung penuh pembabaran Buddhadhamma di tanah air. Pada Peringatan Tri Suci Waisak 1956 di Candi Borobudur, Goei Thwan Ling mendanakan tanah yang dimilikinya di Bukit Kassapa untuk perkembangan agama Buddha. Maka sebagai ungkapan terima kasih, secara simbolis Ashin Jinarakkhita menganugerahi bendera Buddha panca warna kepada Goei Thwan Ling di depan peserta Waisak yang hadir.

Bukit Kassapa terletak di antara sebidang tanah hak garap perkebunan zaman Belanda seluas lebih dari 82 hektar. Sebuah gothek menyebutkan bahwa tanah ini semula milik keluarga bangsawan Jawa bergelar Pangeran Kuda Sembagi (wafat tahun 1900). Lalu kemudian tanah ini dikuasai keluarga Goei Thwan Ling sejak tahun 1923.

Seperti kita ketahui, sejak Perjanjian Giyanti 1755, penduduk bangsawan, dan warga bumi putera Indonesia kehilangan banyak tanah milik nenek moyangnya sendiri. Kemudian berdasarkan berita dari potongan peta tahun 1775 yang diterbitkan VOC Belanda, daerah Srondol hingga Sekaran (Gunung Pati), termasuk Bukit Kassapa dijadikan perkebunan kopi (Tuin Koffie).

Selain itu, berdasarkan sumber, “Pertambangan di Hindia Belanda” (volume 2 tahun 1875), disebutkan adanya deposit hasil tambang penting di wilayah ini. Kemudian pada tahun 1850, mengacu tulisan Dr. P. Blekker, bahwa wilayah di sekitar Gunung Pati sisi selatan dijadikan perkebunan karet Belanda.

Salah satu pemilik kebun karet adalah Resident Surakarta, Mc. Gilavary yang tinggal di Desa Terwidi. Waktu itu, A. Nagel, istri Mc. Gilavary yang juga mempunyai villa di Gunung Pati sering mendapat kunjungan dari sahabatnya, yaitu Oei Tiong Ham dan R.A. Kartini.

Dibalik Kisah Penyerahan Bukit Kassapa
Lahan tanah milik bangsa Indonesia jatuh ke tangan pengusaha Belanda dan Tionghoa secara masif sejak ambruknya Pelabuhan Pesisir Utara karena Pakubuwana II takluk pada VOC Belanda. Sesudah itu, sebagian besar daerah Semarang dikuasai VOC Belanda dan pengusaha Tionghoa kaya.

Terlebih sesudah Hindia Belanda dikuasai Inggris di bawah kepemimpinan Raffles. Kekuasaan penduduk (Jawa) atas tanahnya sendiri terampas oleh pemberlakukan suatu undang-undang Barat.

Di kalangan bangsa Indonesia sendiri, hanya keluarga keraton dan atau bupati kaya yang dekat dengan pemerintah kolonial, orang Barat, dan Timur asing saja yang mampu mempunyai tanah hak Erfpacht. Hal ini juga berpengaruh pada merosotnya mental suku bangsa di nusantara karena kebijakan politik Belanda. Penduduk asali ditempatkan pada strata paling bawah setelah warga Barat (Eropa) dan Timur Asing (Cina, Arab, Jepang, dll).

Hak Erpacht adalah hak guna usaha atau hak kebendaan untuk menikmati kegunaan tanah kepunyaan pihak lain. Pemegang hak Erpacht boleh menggunakan kewenangan yang terkandung dalam hak eigendom atas tanah. Namun sesudah diundangkan Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960, maka hak Erpacht dimaksud telah berubah. 

Peristiwa Penting Bersejarah
Berkat kerjasama dan dukungan antara Ashin Jinarakkhita, Goei Thwan Ling, dan sejumlah pengurus vihara, serta upāsakā-upāsikā di tanah air. Vihara Buddha Gayā, Watu Gong menggoreskan tinta emas perjalanan sejarah kebangkitan Buddhadhamma.

Salah satunya adalah dengan dibangunnya Vihara 2500 Buddha Jayanti pada tahun 1957 dan diresmikan Bhante Narada Mahathera pada tahun 1958. Kemudian pada tahun 1959, hadir belasan bhikkhu dari luar negeri untuk meresmikan sima (batas vihara untuk upasampada bhikkhu baru).

Berdasarkan kronologi ini, maka Vihara-Sima 2500 Buddha Jayanti dapat disebut sebagai vihara pertama bercorak Theravāda di Indonesia secara de jure.

Vihara-Sima 2500 Buddha Jayanti menjadi jujugan sekaligus pusat perkembangan Buddhadhamma sejak diresmikan tahun 1958. Tersebutlah Bhante Jinaputta (Drs. Ong Tiang Biauw) yang merupakan bhikkhu pertama yang di-upasampada di Bukit Kassapa.

Berkat jasa beliau, Buddhadhamma di Yogyakarta hingga Magelang, dan Temanggung bangkit bersemi. Pada masa vassa pertamanya, Bhante Jinaputta berdiam di sebuah bangunan bekas kandang ternak atas peran tokoh sesepuh Yogyakarta yang dikenal sebagai, “Djojo Wolu”.

Namun sayang, ketika api semangat sedang berkobar menyala-nyala, secara tiba-tiba terbetik warta mengagetkan. Ashin Jinarakkhita meninggalkan Kota Semarang! Ia memutuskan pindah ke Bandung sejak bulan November 1964.

Apa yang melatarbelakanginya? (bersambung)

Penulis : S. Santiphalo
Editor  : Metta Surya      

Share it!
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *