Carita Buddha Dharma Nusantara

Tahi Lalat di Paha Selir Brawijaya. Kutukan atau Berkah?

Sebuah gothek (kisah rakyat) menuturkan cerita, saat Prabu Brawijaya bertakhta di Wilwatikta. Terdapat seorang mpu yang hebat melukis dan mengukir. Ia pandai melukis dan mengukir objek benda dengan hasil sama persis. Namanya Mpu Sungging Prabangkara. Seorang seniman muda dengan kepribadian halus, gagah, dan tampan. Raja begitu senang dan puas dengan hasil karya indahnya yang tersemat di istana. Sampai suatu hari, Mpu Sungging Prabangkara mendapat tugas yang kelak mengubah wajah peradaban seni budaya nusantara. Sang Raja bertitah agar Mpu Sungging Prabangkara mengabadikan selirnya yang cantik. Tidak main-main, raja menghendaki selir pujaannya dilukis dalam keadaan tanpa busana. Tentu saja, aturannya ketat. Mpu Pelukis hanya boleh melihat dari jauh. Tidak boleh menyentuhnya!

Asap dupa mengepul. Prajurit kaputren baris berjaga. Ragam bunga dan ratus wangi menebar aura Kamaratih. Setelah mempersiapkan alat dan bahan, Mpu Sungging Prabangkara bersamadhi. Dengan pikiran dan batin yang lurus, bersih, dan asas kerja profesional. Ia mulai melukis lekuk tubuh sang selir raja sangat rinci-teliti. Ia lukiskan tubuh istri raja dalam katuranggan durga rangsang. Ini karena sang selir adalah putri dari Tiongkok. Sosok tubuhnya terbilang tidak besar, dengan tinggi semampai. Namun buah dadanya tampak besar dan menggantung bagai buah kelapa cengkir ranum merangsang. Kulitnya kuning cenderung putih dengan rambut tergerai lemas. Alis matanya meruncing, tanda sifat sang selir sedikit sinis karena hanya suka melirik saat memandang orang lain di bawahnya.

Bagi mereka yang paham ilmu katuranggan pastilah paham. Wanita dengan paras ini suka memaksakan diri dan menindas suaminya. Dalam hal olah asmara, durga rangsang adalah wanita yang sulit terpuaskan. Maka pembawaannya adalah ingin menguasai dan tampil menang dari istri-istri raja yang lain. Temasuk ingin menundukkan permaisuri raja sendiri. Mpu Sungging Prabangkara melukisnya dengan bentuk dan ukuran lukisan sama persis dengan tubuh istri raja yang molek itu. Sampai-sampai antara lukisan dan orang yang dilukis sama persis dan tampak hidup. Keduanya tampak kembar. Antara lukisan dan wujud asli selir raja.

Proses pengerjaan lukisan Candi Borobudur di Dhammasala Wihara Maha Vajra, di Bangsri, Jepara. Oleh Bambang Agus Prabangkara dibantu seorang asisten

Diusir dengan Layang-Layang
Tepat setelah lukisan selesai. Raja yang juga dikenal dengan nama Bhre Kertabhumi itu, masuk ruangan di mana istrinya dilukis. Agak canggung melihat kehadiran raja karena bersamaan waktu dengan selir, yang tengah berbenah berbusana. Mpu Sungging Prabangkara menjadi terburu-buru saat mengemasi alat lukisnya. Hingga tanpa sengaja, sisa tinta pada kuas lukisnya, jatuh terpercik setitik pada lukisan di depannya. Ia tak sadar, percikan tinta jatuh tepat pada bagian paha lukisan. Berada sangat dekat pada gambar bagian tengah kedua paha istri raja. Cipratan noda tinta itu membentuk gambar setitik tahi lalat (Jawa: andheng-andheng). Kejadiannya sangat cepat. Raja dan selirnya pun tak melihatnya.

Raja tampak senang dan penuh takjub memandangi hasil lukisan Mpu Sungging Prabangkara. Ia begitu gembira lukisannya hidup dan rinci-teliti. Namun mendadak muka raja masam menahan marah. Saat pandangannya tertuju pada gambar tahi lalat yang letaknya sama persis dengan aslinya. Raja Brawijaya menganggap Sang Mpu berkhianat, sudah berani menyentuh istrinya. Seketika raja akan segera menghukumnya. Niatnya urung saat terpikir, malu bila sampai orang lain tahu kalau raja marah karena dibakar api cemburu.

Sebagai gantinya, Raja memerintahkan Mpu Sungging Prabangkara untuk melukis istana Majapahit dari atas langit. Singkat cerita, dibuatlah layang-layang besar untuk menerbangkan mpu yang sedang bernasib sial itu. Dari layang-layang di atas langit. Mpu Sungging Prabangkara mulai melukis pemandangan istana di bawahnya. Lagi-lagi, nasib malang masih saja menghampiri. Tiba-tiba saja berhembus angin kencang menerbangkan alat-alat lukis dan ukir yang selalu dibawanya. Alat-alat itu terbawa jauh sekali dan terpisah menjadi tiga bagian. Lalu terbawa angin dan jatuh ke Bali, Pasuruan, dan Jepara. Alat lukis dan ukir itu ditemukan penduduk setempat. Itulah mengapa kemudian, tiga daerah itu dikenal sebagai kota penghasil karya seni berkualitas tinggi.

Hasli lukisan latar belakang altar Dhammasala Wihara Maha Vajra karya Bambang Agus Prabangkara di Guyangan, Bangsri, Jepara. Beberapa saat sesudahnya, wihara mendapat kunjungan dari warga sekitar dan kerabat Bambang.

Seniman dari Lereng Maura
Di Jepara, tepatnya di Desa Mulyoharjo. Terdapat punden petilasan yang yang diyakini sebagai tempat mengeramatkan pusaka Mpu Sungging Prabangkara. Pusaka itu terdiri dari alat ukir dan lukis. Itulah mengapa secara alami, banyak warga Jepara mudah belajar seni lukis, pahat, dan ukir. Hasil karya seni pemahat dan pelukis Jepara, sudah terkenal sejak zaman kolonial hingga milenial. Satu dari sekian banyak seniman itu adalah Bambang Agus Prabangkara.

Bambang lahir pada 13 Agustus 1995 di desa Tanjung, Pakis Aji, Jepara. Ayahnya bernama Bayan Praba Supangat dan ibunya bernama Kastinah. Saat, belum genap berusia 6 tahun, ayahnya yang seorang bayan (pegawai kantor kepala desa), wafat. Setelahnya, anak bungsu dari enam bersaudara ini hidup berdua dengan ibunya. Kakak-kakaknya sendiri sudah berpisah rumah, karena sudah berumah tangga. Bersama sang ibu yang hanya buruh tani, Bambang tekun sekolah. Meski tanpa uang saku buat jajan seperti anak lain seusianya.

Sifat mental positif dan karakter unggul tetap terpatri dalam diri Bambang. Ia tetap riang bermain dengan teman-teman di desanya. Pergi ke sawah, mencari rumput pakan ternak, atau sesekali mencari ikan dan berenang di kali. Lucunya, ia jago bermain layang-layang dan kelereng, dan seringkali menang adu mainan. Setelahnya, ia sering membawa pulang banyak layang-layang dan kelereng. Pernah ia iseng menjualnya ke teman-teman sebanyanya. Tak disangka, justru dari menjual mainan itulah, ia beroleh uang saku, dan cukup buat beli buku-buku LKS.

Sketsa Eden Hazard, pemain sebak bola asal Belgia. Hasil goresan tangan Bambang Agus Prabangkara yang sudah terbang ke luar negeri

Tukang Ukir dan Pelukis Sketsa Otodidak

Bambang hanya lulusan SMP dari sebuah desa di lereng gunung Muria, yang dulu bernama Maura. Namun daya juangnya tak kalah dengan lulusan sarjana di kota besar. Sejak kecil, ia sering dikuatkan dengan dongeng-dongeng berbahasa Jawa yang penuh imanjinasi positif. Salah satunya kisah tentang Mpu Sungging Prabangkara yang terkenal di Majapahit. Selain itu, Bambang selalu berusaha memegang teguh pesan ibundanya, “Dadio wong sing bener lan pener, Ngger…!”

Pada usia 17 tahun atau pada tahun 2012. Bambang meniti karir sebagai tukang ukir khas Jepara. Ia bekerja ikut orang di sebuah bengkel kerja dengan kualitas ekspor. Di tengah-tengah kesibukannya sebagai tukang ukir, Bambang “menangkap” pusaka Mpu Sungging Prabangkara dari langit.

Dari Youtube ia  pelajari teori-teori dasar seni lukis dan ukir secara ototdidak. Dari “sinyal langit” itulah ia mengasah keterampilan lukisnya. Di sana, ia temukan bakat terpendamnya dengan menggores pensil untuk menggambar sketsa wajah. Setelah itu, ia unggah gambar-gambar hasil karyanya di Facebook. Kemudian, pada tahun 2017, mulai ada orang yang minta dilukiskan sketsa wajah orang-orang terkasihnya.

Dari sinilah banyak orang dari dalam dan luar negeri, terpikat dengan hasil karya seninya. Bambang selalu ajeg melakukan samadhi sebelum melukis sketsa wajah yang biasanya dituangkan pada media kertas ukuran A4. Dari sini pula jejaring kawan Bambang melesat pesat. Salah satunya Julian, pria asal Jerman yang sedang menempuh tugas untuk belajar seluk beluk kayu, desain mebel, dan cara mengolah limbahnya. Persahabatan itu membuat Bambang lebih percaya diri. Ia bisa belajar bahasa asing langsung dari penuturnya. Sekaligus meningkatkan kemampuan akademik yang belum pernah ia pelajari secara resmi di perguruan tinggi.

“Good Father Dalai Lama” sketsa Y.M. Dalai Lama dalam kanvas karya Bambang Agus Prabangkara

Karya Monumental

Pada tahun 2017, Wihara Maha Vajra yang terletak di Desa Guyangan Nganjir RT 02, RW 11, Bangsri, Jepara, dipugar. Saat itulah Bambang mendapat tantangan untuk mengerjakan lukisan dinding dengan tema stupa Candi Borobudur. Setelah persiapan dilakukan, ia mengawali dengan laku ritual dan samadhi untuk mulai melukis. Dengan ditemani seorang asisten, lukisan berhasil diselesaikan selama seminggu. Sebagai seniman, ia sudah puas ditemani kopi dan rokok. Saat itu semua bahan dan alat sudah disediakan panitia pemugaran wihara. Bambang merasa bahagia sudah menyumbangkan kemampuan diri terbaiknya untuk berdana kepada Buddha Dharma.

Setelah lukisan jadi, ia foto dan unggah hasil karyanya itu di facebook. Hingga ada kawan yang berkomentar, dengan menaksir harga jasa lukisan itu tentu minimal 75 juta. Ini karena rinci-telitinya tiap bagian lukisan, yang menjadikannya tampak nyata dan hidup. Bambang tak ambil pusing menanggapi celoteh teman-temannya. Ia hanya mengikuti bahasa batinnya yang berbisik, “Semoga seni budaya tidak mendapatkan tentangan dan larangan lagi seperti dialami Mpu Sungging Prabankara sebelum Majapahit rubuh”.

Bambang Agus Prabangkara (kiri), Pelukis muda dari Desa Guyangan, Bangsri, Jepara. Saat mendapatkan kunjungan dari Julian (kanan), sahabatnya dari Jerman.

Ini karena Bambang meyakini pesan guru spiritualnya. Bahwa kisah Mpu Sungging Prabangkara yang melukis lekuk tubuh selir Prabu Brawijaya itu bermakna simbolis. Itu adalah kisah saat karya seni budaya yang menyerupai wujud manusia mulai dilarang orang-orang dekat selir raja. Konon, selir raja adalah seorang putri dari Tiongkok dan memeluk keyakinan yang berbeda dari raja. Sang Selir berani mempengaruhi raja agar tidak mempersamakan ciptaan manusia dengan ciptaan langit. Ini dilakukan selir itu, atas saran penasehat yang ia bawa dari negeri Atas Angin. Titik hitam cipratan tinta yang membentuk gambar tahi lalat di paha adalah simbol dari masalah sepele. Masalah kecil yang mempermalukan raja sendiri karena tunduk pada kuasa tubuh wanita. Raja yang baru terbelalak kaget dan sadar bahwa istrinya berkaturanggan durga rangsang.

Dalam sebuah cerita babad, sang selir kemudian diserahkan adipati Palembang. Sementara angin yang menerbangkan pusaka Mpu Sungging Prabangkara adalah simbol pelarian para mpu seni budaya untuk bersembunyi. Lalu para mpu mengajarkannya turun-temurun secara rahasia. Melalui seni budaya Jawa dan ketulusan melalui batin yang bersih. Para mpu seniman mengajarkan Siwa Buddha tersembunyi samar-samar dalam keyakinan Kejawen Kebatinan. Setelahnya, banyak karya seni multi dimensi mulai ditinggalkan dan dilarang digunakan. Seperti dilukiskan dengan dramatis oleh Pramoedya Ananta Tour dalam novel Arus Balik.

“Prajurit pertama itu nampak malu dalam cahaya bulan. Dengan langkah goyah ia mendekati Ganesya belum selesai itu dan dengan takut-takut menyentuh belalainya dengan telunjuknya. Dan belalai Ganesya itu tidak hangat, juga tidak membuktikan diri punya sakti. “Ludahi dia!” perintah prajurit kedua”, (1995:7).

Kemudian sejarah mencatat, banyak candi dan artefak budaya lainnya terkubur bumi ratusan tahun lamanya. Sampai kemudian pada awal abad ke-19, Raffles datang ke Jawa, dan menemukan candi-candi agung di berbagai tempat. Ini dilakukan Raffles, setelah ia menjarah-rayah sebuah peta yang selama itu dirahasiakan turun-temurun oleh seorang kepala suku Badui. Agar candi-candi dan artefak Siwa Buddha selamat dari upaya penghancuran pihak-pihak yang tak bertanggung jawab. Bila kisahnya benar demikian. Maka noda tinta yang membentuk gambar tahi lalat di paha selir Prabhu Brawijaya itu, berkah atau kutukan?

Lukisan dengan judul, “Pencapaian Samnyak Sambodhi” karya Pelukis Buddhis Bambang Agus Prabangkara

Penulis: Dhammatejo W.
Editor: Cittasukho W.

Share it!
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  

5 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *