Sungguhkah Gamelan Jawa Itu Klenik Tak Selaras Dengan Dharma?
“Agama tanpa seni tidak dapat berkembang (tidak mempunyai banyak pengikut-umat). Sedangkan seni tanpa agama tidaklah berbobot”, Sri Paminto Widi Legowo, Sutradara Wayang Orang Ngesti Pandhawa dan Koreografer dan Penari “Trah Badra Santi” 2017.
Seni pertunjukan lekat dengan permainan dinamika rasa dan keindahan. Baik dari sisi pencerapan indera penglihatan, pendengaran, maupun indera sentuhan. Besar kemungkinan, inilah alasan terdapatnya anggapan sepihak, bahwa seniman dan pelaku seni terkesan tidak spiritualis, urakan, dan jauh dari kehidupan agamis.
Namaku Cahya Ardi Ratana, seorang upāsaka yang bergelut di dunia seni pertunjukan. Melalui tulisan ini, saya ingin berbagi pengalaman dalam berkesenian sekaligus dalam praktik Buddha Dharma. Ini karena seorang seniman selain dituntut untuk produktif, kreatif, dan totalitas dalam pilihan seninya. Kadang saya berhadapan dengan tantangan pemahaman laku Buddhis. Mengapa? Ini karena ada anggapan bahwa Budaya Jawa seperti seni karawitan itu tak selaras dengan Buddha Dharma.
Antara Laku Buddhis Dengan Ekspresi Seni
Seperti kita ketahui, bahwa di dalam Buddha Dharma terdapat anjuran untuk menghindari sesuatu yang berlebihan atau eksrim. Baik itu ekstrim kiri (penyiksaan diri atau pertapaan ekstrim) maupun ektrim kanan (pemuasan kamaraga).
Tulisan ini mengulas pandangan dari sudut pandang ekstrim kanan. Secara umum ekstrim kanan dianggap mirip dengan laku pemuasan kesenangan kamaraga (nafsu indriawi), seperti dijelaskan dalam Dhamma Vibhaga, Kelompok Tujuh.
Kamaraga atau nafsu indriawi ini digambarkan menggebu-gebu, sampai kadang membelenggu gottabu-batin (gottabu atau gotrabu berasal dari bahasa Pali-Sanskerta. Penggunaan kosakata gottabu atau gotrabu lebih tepat digunakan dalam terjemahan naskah Buddhis daripada kata batin, yang berasal dari bahasa Arab bathin–bathiniah). Lantas, bagaimana seorang seniman sekaligus seorang upāsaka dapat mempraktikan keduanya?
Sebelum pembahasan lebih jauh, mari kita perhatikan dunia seni pertunjukan bercorak tradisi Jawa. Ini karena banyak pelaku seni budaya yang memeluk agama Buddha. Ada yang menjadi dhalang, sindhen, penabuh, penggerong, pambeksa, dan berbagai profesi lainnya. Pilihan menjadi seniman itu dilatar belakangi pelbagai faktor. Ada yang karena faktor warisan darah seni dari keluarganya, ada yang karena faktor kegemaran, dan ada pula karena memang panggilan hati. Dalam pandangan saya, seni dan budaya justru merupakan sarana untuk mempertebal saddha (keyakinan) terhadap Buddha Dhamma. Ini karena seni dan budaya Jawa berkembang seiring pengalaman spiritual pelakunya.
Pada masyarakat Jawa kuno dahulu, terdapat local wisdom berupa kepiawaian dalam meletakkan lambang atau simbol Buddha Dharma. Dengan lambang itu seni budaya luwes mengungkapkan makna semiotik dan filosofi kehidupan yang sangat kompleks secara spiritual.
Makna Simbolik Dibalik Mantra Suluk
Makna simbolik itu dapat kita tilik melalui tembang (kakawin, kidung, mancapat), sulukan, cakepan, gerongan, sanggit wayang, lukisan, dan sebagainya. Sebagai contoh, terdapat cakepan sindhenan pada salah satu sajian gendhing Jawa berjudul Ketawang Pamuji. Gending dalam iringan laras Slendro pathet Sanga itu memuat syair mantra,“Aum awignam astu nama, mugi rahayua sagung dumadi”.
Nah, bagi yang jeli, frasa pertama dari dua klausa cakepan di atas sangatlah multitafsir. Namun saat kita melihat frasa yang kedua, ia sangat dekat sekali dengan frasa yang sangat penting dalam agama Buddha. Yaitu sabbe satta bhavantu sukhitata atau mugi rahayua sagung dumadi. Kini kalimat ini dikenal dalam bahasa Indonesia sebagai ungkapan Semoga semua makhluk hidup berbahagia.
Pesan Dhamma di balik 4 Tahapan Sajian Gending Karawitan
Lebih jauh, kita juga bisa melihat bentuk sajian dari sebuah gending karawitan secara rinci. Yaitu: Pertama adalah Buka, dimana biasanya diawali dari instrumen bonang, rebab, atau gender kemudian dilanjutkan dengan kendhang, dan dimainkan dengan irama tanggung (irama 1), yang mana hanya instrumen berbunyi keras dan pokok yang dimainkan. Tanpa permainan rumit dan lanjutan dari instrumen alusan seperti rebab, gender, siter, gambang, dan suling, serta tanpa gerongan dan sindhenan.
Kedua adalah Irama dadi. Setelah dimainkan, pengendhang akan memberikan aba-aba kepada seluruh tim karawitan untuk mulai masuk ke sajian irama dadi (irama II). Pada sajian tahap ini instrumen yang berbunyi keras sudah mulai diatur tingkat kekerasan bunyinya menjadi lebih pelan. Lalu instrumen pengembang seperti bonang barung dan bonang penerus sudah mulai memainkan pola-pola pengembangan yang rumit disusul dengan instrumen lain seperti alusan rebab, gender, siter, gambang, dan suling. Penggerong dan sindhen pun sudah mulai masuk ke dalam sajian gending karawitan.
Ketiga, ngelik. Dalam beberapa kali putaran bagian umpak (bagian awal gendhing), pemain rebab akan memberikan tanda kepada penabuh instrumen alusan dan sindhen untuk masuk ke bagian ngelik. Di bagian inilah cakepan sindhenan banyak yang berisi pesan kehidupan. Uniknya, khusus untuk Ketawang Pamuji ini, sindhenan pertanda ngelik juga ikut membersamai rebab dan gender dalam melantunkan frasa di atas. Sebelum alunan karawitan masuk ke bagian gong terakhir, menuju bagian ngelik. Seolah-olah mengawali petuah (Dhamma) dengan frasa sabbe satta bhavatu sukhitata. Tentunya, cakepan sindhen dalam bagian ngelik ini bisa diubah-ubah sesuai dengan kebutuhan. Ini karena dalam praktiknya, sudah terdapat beberapa cakepan yang berbeda-beda. Lalu yang keempat adalah Suwuk. Ini adalah tahap dimana pengendhang memberikan tanda untuk mengakhiri sajian gendhing karawitan.
Lantas, apa hubungannya dengan Dhamma?
Untuk mengurainya, kita bisa lihat pada tahap kedua dan ketiga pada sajian sebuah gending karawitan. Dimana saat dipelankannya instrumen keras pada tahap kedua. Ini sama seperti seseorang yang akan memulai bersamadhi yang secara bertahap membuat fisiknya rileks dan tenang (instrumen keras atau perangkat kerasnya komputer bernama manusia). Lalu dilanjutkan dengan pola rumit dari instrumen alusan (olah pikir dan gottabu-batin atau perangkat lunaknya manusia).
Instrumen keras gamelan adalah tubuh fisik, sementara isntrumen alusan adalah perwujudan dari perangkat lunak yaitu pikiran dan gottabu-batin. Sementara, setelah tenang dan rileks, dilanjutkan dengan pemaparan ajaran atau petuah dalam sajian tahap ketiga. Pola sajian ini juga diterapkan pada bentuk-bentuk gendhing ketawang lain dan juga bentuk gendhing lain seperti ladrang, gendhing tengahan dan sekar ageng.
Contoh di atas adalah contoh sederhana dalam menyelami sisi semiotik dari sebuah produk kesenian Jawa. Bahkan, jauh lebih banyak dan melimpah lagi pada bentuk-bentuk produk budaya yang tidak segamblang seperti yang terdapat pada contoh di atas. Pastinya lebih rumit serta penuh dengan sisipan semiotika spritualistik di dalamnya.
Sampai di sini, munculah pelbagai pertanyaan menggelitik. Misalnya, Apakah benar, dahulu para Mpu sengaja menyisipkan pesang Dhamma atau petuah nasihat dalam setiap karya seni budayanya? Apakah benar seni budaya Jawa adalah hasil perpaduan antara budaya dan Dhamma?
Filsafat “Gong” dalam Dutiyalokadhamma
Jawaban singkatnya dapat kita peroleh dari nilai filosofis instrumen “gong”. Pada setiap kemeriahan alunan gending gamelan atau karawitan. Pasti diakhiri dengan penanda akhir berupa tabuhan bunyi gong.
Artinya, semeriah, semewah, dan sekompleks apapun kehidupan ini. Seperti dipesankan dalam Dutiyalokadhamma atau Delapan Sifat Duniawi yaitu untung (lābha) dan rugi (alābha), tenar (yasa) dan tidak tenar (ayasa), dipuji (pasaṃsā) dan dicela (nindā), bahagia (sukha) dan menderita (dukkha). Semuanya itu akan berakhir dengan bunyi gong.
Kita bisa membuktikannya dengan duduk bersamadhi, lalu memperhatikan bunyi gong , “ngung…” atau “Aum”, “Om”, “Hum”, dan sejenisnya. Semuanya merujuk pada kata ning, nir, suwung atau kosong. Sebuah bunyi untuk mengungkapkan bahwa segala sesuatu itu menuju nirvana atau nibbana.
Penulis: Cahya Ardi Ratana
Ia adalah Seniman pada Sendratari Ramayana, Candi Prambanan.