Punden Petilasan Pertapaan Mpu Santi Badra
Yèn wis wanci KASUSASTRAN basa JAWI,
dèn pêpêtri rinawat ring pra MUMPUNI,
pra trah Panji nggregah mundhi BADRASANTI.
Para Dwija, Sramana, Pangandhar-Sabda,
mundhi SLOKA wasitane SANTIBADRA,
sayuk samya nyêbar Dharmane Sang BUDDHA.
Sabda Badra Santi XI: 529
Mbah Guru Kondur Ke Bumi Lasem
Pandita Raden Panji T. Hadidarsana adalah seorang guru SR lulusan Sekolah Guru di Semarang. Hampir seluruh masa tugas pengabdiannya sebagai guru, ia tugas dinas di Kabupaten Kudus. Setelah pensiun sebagai guru SR di Kota Tajug-Kudus. Pada tahun 1974 Pandita Raden Panji T. Hadidarsana memutuskan pulang kembali ke Lasem. Sesampai di Lasem, ia dikenal dengan sapaan Mbah Guru yang mempunyai nama pena dalam karya tulisnya Pujangga Argasoka. Di Lasem, ia turut memugar situs yang pernah menjadi pertapaan Mpu Santi Badra. Kawasan punden ini semula dirawat dengan sederhana. Bangunan masih berupa kawasan berpagar kayu dengan atap genteng.
Mbah Guru Mendirikan Sanggar, Cikal Bakal Wihara Ratanavana Arama, Lasem
Pada tahun 1975, Pandita Raden Panji T. Hadidarsana mendirikan sebuah caitya dengan nama Sanggar Badra Santi Loka. Letaknya berada di halaman depan rumah Karno Kanan (Mertua Upacarika Sukhemo Karsid Kusriyana), di Dusun Tluweng, Sendang Coyo, Lasem. Saat itu, terdapat belasan warga turut belajar Sabda Badra Santi dan Buddha Dharma dalam bahasa Jawa.
Para warga itu di antaranya: Yanto (keponakan Mbah Kardi, pemilik tanah di mana terletak situs panca wiyasa Mpu Santi Badra; Danu Darmijan dari Dusun Ngasinan, Waru Gunung, Pancur; Karno Kanan; Kasmojo Kamitua, Sunoto, Partorim, Muji, Sadimin, Kasmito, Joyojagi, Karsid Kusriyana dari Dusun Tluweng, Sendang Coyo, dan Kusmin dari Dusun Mentoro. Saat itu desa-desa tersebut semuanya masuk wilayah Lasem, Kabupaten Rembang.
Adapun para tokoh yang pernah hadir membina warga Buddha di sanggar itu adalah Bhikkhu Khemasarano Mahathera, Pandita Ramadharma S. Reksowardojo, P.Md. Lie Kok Tjie, dan P.Md Silavati Gan Hoo Liang, yang beberapa kali mengikuti puja bakti di caitya ini.
Mbah Guru Menyambut Kehadiran Bhikkhu Sudhammo
Sebelumnya, sekitar akhir tahun 1972, Pandita Raden Panji T. Hadidarsana, Pandita Ramadharma S. Reksowardojo, dan Pandita Sabar Alym (tokoh Wihara Tanah Putih), sudah pernah dekat dengan Samanera Dhammaratano (1938-2000). Mereka pernah berjuang bersama dalam pembabaran Buddha Dhamma di Tajug-Kudus.
Usai di-upasampada di Thailand dan menjadi bhikkhu bernama Sudhammo, Ia sempat berdiam untuk beberapa waktu lamanya. Selama di Thailand, Bhikkhu Sudhammo berhasil membantu memecahkan suatu persoalan di sebuah desa, kemudian memperoleh penghargaan dari otoritas setempat. Dengan hasil penghargaan itu, sekembalinya ke tanah air, Bhikkhu Sudhammo ingin mendirikan sebuah gubug tempat tinggal di sebuah gunung.
Awalnya, oleh seorang pemudi (donatur) yang berdomisili di Surabaya, Bhikkhu Sudhammo diantar menuju Wihara Maha Karuna, di komplek Klenteng Karangturi Gang VIII, Lasem. Atas saran Ibu P.Md. Silawati Gan Hoo Liong, Ibunda si pemudi, Bhikkhu Sudhammo dianjurkan mendirikan wihara di daerah Sendang Coyo. Pertimbangannya, sudah ada komunitas warga Buddha melalui Sanggar Badra Santi Loka yang dipimpin Pandita Raden Panji T. Hadidarsana.
Kebetulan, letak Sanggar Badra Santi Loka sesuai cita-cita Bhikkhu Sudhammo untuk mendirikan wihara di sebuah gunung. Singkatnya, sesudah bertahun-tahun tidak berjumpa dengan Pandita Raden Panji T. Hadidarsana, pada sore hari tanggal 21 April 1977, sekitar pukul 16.00 WIB, Bhikkhu Sudhammo hadir di Sendang Coyo, Lasem.
Sore hari itu, Bhikkhu Sudhammo didampingi Ibu P.Md. Silawati Gan Hoo Liong, P.Md. Lie Kok Tjie, Mbah Danu Darmijan, Karsid Kusriyana, dan Pandita Raden Panji T. Hadidarsana. Mereka bersama-sama melihat letak tanah milik Mbah Kardi dan tertarik mendirikan wihara di atasnya. Pada saat itulah terjadi kesepakatan jual beli tanah yang akan digunakan sebagai tempat berdirinya wihara.
Dengan Berdirinya Wihara, Sanak Turun Pahlawan Lasem Turut Bergabung dan Turun Gunung
Diawali dari sebuah rumah kayu sederhana mulai sekitar tahun 1978-1979, berdirilah kemudian Wihara Ratanavana Arama dan semakin berkembang pembabaran Buddha Dharma di Lasem. Saat itu, masyarakat sekitar memperoleh manfaat dengan dibangunnya jalan setapak dari susunan batu dicor pertama di Kecamatan Lasem. Jalan sepanjang dari kaki bukit di Desa Selopura hingga Desa Sendang Coyo itu kemudian dapat dilewati kendaraan roda empat.
Keberadaan jalan yang menghubungkan desa-desa di Gunung Argasoka dengan Kota Lasem itu, sudah tentu membawa kemajuan pembangunan daerah setempat. Wihara yang diresmikan pada tahun 1985 ini, menambah semangat warga Buddha di Dusun Ngeblek, Dusun Kebon, dan Desa Pandangan Wetan yang disusul berdirinya caitya serta wihara-wihara. Pada saat itulah, para sanak turun pejuang Perang Lasem yang selama beratus tahun meninggalkan Kota Lasem untuk menyelamatkan diri di Gunung Argasoka, mulai turun gunung. Dengan menyaksikan adanya kehidupan para bhikkhu dan tradisi budaya Buddhis. Mereka banyak yang merasa berjumpa kembali dengan leluhur dan akar budayanya sendiri. Setelah mengenal, belajar dan merasa cocok, banyak warga memeluk Buddha Dhamma dengan kesadaran sendiri.
Sesudah berdirinya Wihara Ratanavana Arama yang dipimpin Bhikkhu Sudhammo, kegiatan di Caitya Sanggar Badra Santi Loka pindah tempat dan tutup. Pada saat itu, Keluarga Pandita Raden Panji T. Hadidarsana adalah salah satu sahabat dan pendukung awal kehadiran Bhikkhu Sudhammo di Lasem. Selain keluarga P.Md. Silawati Gan Hoo Liong, mulai tahun 1980-an, Keluarga Pandita Raden Panji T. Hadidarsana selalu ajeg mengirim dana makan untuk bhikkhu setiap pagi. Saat itu, perjalanan naik-turun gunung harus ditempuh dengan berjalan kaki dari Lasem ke wihara di Sendang Coyo.
Selain sebagai wihara tempat berdiamnya bhikkhu dan tempat puja bakti (ibadah) bagi warga Buddha. Sejak diresmikan, Wihara Ratanavana Arama juga menampung pekerja dari masyarakat sekitar. Juga warga Buddha dari daerah lain, untuk mendukung kegiatan wihara sehari-hari. Seperti penjaga, petugas kebersihan, tukang masak, hingga pekerja bangungan. Hal ini dilakukan Bhikkhu Sudhammo untuk memberikan manfaat langsung keberadaan wihara bagi masyarakat sekitar. Selain itu, mulai sekitar pertengahan tahun 1993, Bhikkhu Sudhammo mengawali membantu anak-anak usia sekolah di sekitar wihara dan warga Buddha dari berbagai daerah dengan mendirikan program anak asuh. Saat ini, Wihara Ratanavana Arama berada di bawah naungan Yayasan Sudhammo Mahathera, dengan Ketua Bhikkhu Candhakaro Mahathera.
Den Panji Pembarep Memugar Punden Mpu Santi Badra
Situs punden Tapaan Mpu Santi Badra terletak di bukit Gunung Kendil, masuk wilayah RT 12 RW 02, Dukuh Ngasinan, Desa Warugunung, Kecamatan Pancur, Rembang. Sejak dahulu, kawasan dimana terletak punden ini dikenal penduduk setempat dengan sebutan Punden Mbah Santi Buda.
Di bawah susunan batu punden terdapat temuan sebuah guci yang diyakini sisa abu kremasi lelayu Mpu Santi Badra. Di dalam guci, terdapat beberapa temuan lain (bekal kubur) seperti butiran japamala (semacam tasbih Buddha Mahayana) berbahan kaca/mutiara, dll. Oleh oknum tidak bertanggungjawab, tumpukan batu punden sempat dirusak dan benda temuan serta batu penanda punden tersebut diambil-dijual. Namun tak berapa lama setelah peristiwa perusakan punden yang dipicu pemahaman keagamaan tertentu yang fanatik. Si pelaku mengalami peristiwa naas berupa kecelakaan lalu lintas dan wafat.
Pada tahun 1999, Den Panji Pembarep atau Putra Pertama Pandita Raden Panji T. Hadidarsana yang bernama Raden Panji Ir. Winarna, Dipl. H.E. turut mendukung upaya Ayahanda tercintanya. Ia hadir dan turun langsung dalam upaya memugar bekas situs panca wiyasa menjadi sebuah bangunan rumah. Beberapa tinggalan artefak punden, ditanam ke tempat yang baru. Di dalam bangunan punden juga disematkan prasasti terbuat dari batu marmer bertuliskan nama-nama leluhur Lasem sejak zaman purba hingga Mpu Santi Badra.
Naungan dan Corak Situs Punden Mpu Santi Badra
Tanah dan bangunan kawasan punden hingga kini masih dimiliki-dalam penguasaan Keluarga Besar Mendiang Pandita Raden Panji T. Hadidarsana. Mengenai corak pelestarian punden, Raden Panji Ir. Winarna, Dipl. H.E. sebagai putra pertama Pandita Raden Panji T. Hadidarsana menegaskan, bahwa Punden Mpu Santi Badra adalah tinggalan penanda seni budaya Jawa pesisir utara bercorak Buddha. Yaitu Carita Lasem dan Sabda Badra Santi.
Berdasarkan hal tersebut, warga dari berbagai kalangan diizinkan untuk masuk dan mengunjungi Punden Petilasan Pertapaan Mpu Santi Badra. Namun hendaknya para pengunjung perlu memperhatikan beberapa hal berikut:
1. Punden Petilasan Pertapaan Mpu Santi Badra bukan tempat untuk meminta-minta, praktik perdukunan, klenik, dan sejenisnya.
2. Bila sewaktu-waktu dijumpai hal-hal atau praktik yang dilakukan pengunjung di luar pelestarian seni budaya terkait tema Sabda Badra Santi. Serta seni budaya Jawa pesisir utara bercorak Buddha lainnya. Maka hal itu bukan menjadi tanggungjawab Keluarga, Yayasan Badra Santi (Badra Santi Institute), Juru Kunci, dan warga Buddha sekitar.
3. Semasa hidup, Pandita Raden Panji T. Hadidarsana dalam melestarikan dan memugar Punden Tapaan Mpu Santi Badra dilakukan atas usaha sendiri dan didukung keluarga dan murid-muridnya. Pandita Raden Panji T. Hadidarsana tidak pernah bekerja sama-melibatkan organisasi yang didirikan seorang warga Lasem bernama Bapak Slamet Wijaya dan atau penerusnya. Maka segala keterangan yang disampaikan ke publik oleh pihak dimaksud. Terutama tema-penjelasan terkait-mengatasnamakan Punden Petilasan Pertapaan Mpu Santi Badra. Baik melalui media sosial, media massa, wawancara penelitian, dan sejenisnya. Keterangan-pernyataan ini semua adalah bukan mencerminkan keterangan resmi dari Keluarga Pelestari Punden Mpu Santi Badra.
4. Selama berada di Punden, para pengunjung diharap menjaga norma hukum, tata krama, dan kebersihan.
5. Tidak diperkenankan memasang benda-hiasan apapun yang bukan bercorak Sastra Sabda Badra Santi yang melandaskan pada Tipitaka/Tri Pitaka.
Penjaga Punden
Semula, Pandita Raden Panji T. Hadidarsana menunjuk Mbah Yanto menjadi perawat situs punden. Kemudian setelah wafatnya Mbah Yanto pada tahun 1985, Pandita Raden Panji T. Hadidarsana menunjuk warga sekitar untuk turut menjaga bersama tinggalan petilasan Mpu Santi Badra.
Setelah pemugaran yang dilakukan putra pertama Pandita Raden Panji T. Hadidarsana pada tahun 1999. Bangunan punden dilengkapi dengan pintu-jendela. Maka kemudian sejak itu untuk masuk-keluar bangunan punden, perlu buka-tutup pintu. Saat itu Pandita Raden Panji T. Hadidarsana menggandakan 4 buah anak kunci. Sebuah kunci beliau simpan, sebuah disimpan putra pertama di Semarang, sebuah disimpan cucunya, dan sebuah lagi dititipkan ke rumah warga terdekat.
Kebetulan rumah terdekat adalah milik Upacarika Sukhemo Karsid Kusriyana, anak menantu dari Karno Kanan-salah satu murid Pandita Raden Panji T. Hadidarsana. Pada tanggal 24 Maret 2000, Pandita Raden Panji T. Hadidarsana menunjuk Upacarika Sukhemo Karsid Kusriyana menjaga punden petilasan. Harapannya, bagi para peminat sejarah Carita Lasem dan Sabda Badra Santi yang ingin masuk punden bisa meminta bantuannya sekaligus belajar. Ini karena Upacarika Sukhemo Karsid Kusriyana adalah salah satu sesepuh Desa setempat yang menguasai sejarah Lasem, agama Buddha, dan budaya Jawa.
Penjelasan-keterangan lain terkait Punden Mpu Santi Badra, dapat dibaca dari penjelasan tertulis Pandita Raden Panji T. Hadidarsana. Penjelasan-keterangan tertulis dimaksud tertuang pada buku berjudul Sejarahe Pundhen Tapa’an lan Leluhure Wong Kanung, karya Pandita Raden Panji T. Hadidarsana tahun 1995. Buku ini dilengkapi keterangan tambahan dari Putra Pertama beliau, Raden Panji Ir. Winarna, Dipl. H.E. (proses penerbitan ulang).