Pelestarian Badra Santi (02)

Sejak wafatnya Mpu Santi Badra pada tahun 1426, Badra Santi dilestarikan turun-temurun oleh putra-putri beliau dan para penganut Buddha yang menyebutnya sebagai Piwulang Kejawen Kebuddhaan atau Buddha Jawa. Seiring berjalannya waktu, Badra Santi mengalami dinamika pelestarian. Naskah ini dilestarikan turun-temurun oleh pelestari seni budaya Jawa, khususnya para Adipati Lasem beserta kerabatnya.

Para Adipati Lasem dan kerabatnya, masih terus bersemangat melestarikan Sastra Badra Santi peninggalan leluhurnya. Sejak era Pangeran Santi Puspa; Putra pertama Mpu Santi Badra. Lalu diteruskan putranya; Pangeran Kusuma Badra, kemudian cucunya; Pangeran Santi Wira, hingga era Tejakusuman yang mulai dipengaruhi corak budaya Islam.

Adalah Adipati Tejakusuma I, II, III, IV, dan V yang memimpin wilayah Kadipaten Lasem, mampu menjaga semangat Badra Santi di tengah-tengah kebhinekaan masyarakat Lasem. Saat itu para penduduk Lasem dari suku bangsa Jawa dan Tionghoa. Baik yang memeluk Islam dan Kejawen Kebuddhaan Badra Santi, hidup rukun tanpa suatu persoalan yang berarti. Nantinya, ikatan emosional para penduduk Lasem tersebut diwujudkan dalam semangat melawan VOC-Belanda.

Setelah Adipati Raden Panji Arya Sasangka Tejakusuma V wafat, Putra Pembarepnya yang bernama Raden Panji Margana tidak berkenan meneruskan menjadi adipati. Beliau memilih menjadi rakyat biasa dengan hidup sebagai pedagang dan petani kecil. Pada tahun 1741, 1743, dan 1750, Raden Panji Margana berdiri di depan untuk memimpin penduduk Lasem melawan VOC-Belanda.

Pada tahun 1747, Adipati Suroadimenggolo, antek VOC-Belanda yang sempat ditunjuk menjadi penguasa Lasem, melakukan tindakan keji dan biadab. Ia memerintahkan semua naskah bercorak Siwa dan Buddha untuk dikumpulkan dan dibakar di alun-alun kadipaten Lasem.

Pada perang Lasem, Raden Panji Margana yang menganut Kejawen Kebuddhaan Badra Santi, mendapat dukungan dari para sahabatnya. Pertama adalah Oei Ing Kiat. Seorang saudagar muslim yang ditunjuk Mataram dan VOC – Belanda menjadi penguasa Lasem bergelar Tumenggung Widyaningrat. Kedua adalah Kyai Ahmad Ali Bhadawi, imam Masjid Raya Lasem beserta para santrinya. Ketiga adalah Tan Ke Wie, pengusaha Tionghoa kaya raya yang gemar berderma dan sangat perduli dengan masyarakat miskin.

Pada perang tahun 1750, Raden Panji Margana gugur dan dimakamkan di Desa Dorokandang. Sebelum wafat, beliau sempat meninggalkan wasiat agar naskah Siwa Buddha, terlebih Sastra Badra Santi segera diselamatkan. Ki Mursada, abdi setianya melaksanakan wasiat dengan menyelamatkan Badra Santi ke Desa Criwik di Gunung Argasoka. Tepatnya dititipkan ke Mbah Bekel Criwik, Ki Badra Guna, Putra Raden Panji Surya Kusuma.

Sebelum menutup mata untuk selama-lamanya, Raden Panji Margana menambahkan wasiat berupa pandangan jauh ke depan. Yaitu kelak di kemudian hari, akan lahir generasi penerus, yang di dalam tubuhnya mengalir darah dan semangatnya, untuk meluhurkan seni budaya bangsa, Badra Santi. Ramalan itu akan terwujud pada Chandra sengkala Tan Tumenga Malbeng Buddha (tahun 1900an) atau memasuki era abad ke-20. Suatu zaman yang ditandai dengan akan tumbuhnya Pohon Bodhi (ficus religiosa), dan Bunga Teratai yang tumbuh subur di setiap desa di penjuru negeri. Tumbuhnya bagaikan suburnya cendawan di musim penghujan.

Rupang Raden Panji Margono di Klenteng Bagan, Lasem (Dok. Foto Ngasiran, Buddhazine.com)

>> Berikut: Pelestarian di Abad ke-20 (03)
<< Sebelumnya: Latar Belakang Berdirinya Badra Santi Institute (01)
Share it!
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •