Carita Wiku lan Pandita

Para Bhiksu Awal Sebelum Hadirnya Bhikkhu Narada

Jubah Pita Pêpundhèning para Siswa,
Yogiswara Sang Wiku pangandhar Dharma,
lungse yoswa dèn sungkêmi wis sêmbada.
Mangastuti têkèng sêpuh kaki-kaki,
Tlatèn ladi nlusup desa ndlajah nagri,
mêdhar ngèlmi srananing Bêgja Basuki.
Sabda Badra Santi XXII: 1075

Secara umum, sejarah kebangkitan Buddha Dhamma di Indonesia mencatat. Bahwa Bhikkhu Narada Mahathera adalah sosok berjubah atau pertapa Buddhis pertama yang datang ke Indonesia. Namun dari pelbagai sumber lain yang ada, terdapat temuan data dan berita, bahwa ada orang berjubah atau wiharawan lain yang hadir lebih awal dari beliau.

Tak bermaksud mengkotak-kotak jenis tradisi sekolah (saya lebih suka menyebut sekolah daripada madzab atau sekte yang maknanya cenderung kontraproduktif). Juga tak bermaksud mengecilkan peran Bhikkhu Narada Mahathera sebagai Duta Dhamma penting, dalam pembabaran Buddha Dhamma di Nusantara.

Secara tegas, berdasarkan corak tradisi sekolah, Bhikkhu Narada benarlah seorang bhikkhu Theravada pertama yang hadir ke Indonesia, yang waktu itu masih bernama Hindia Belanda. Namun, ada orang berjubah dari tradisi sekolah Buddhis lain. Telah lebih dulu hadir untuk mewarnai pembabaran Buddha Dhamma di Indonesia. Untuk lebih jelasnya, kita tilik temuan data berikut ini.

Tahun 1600-1700-an
Pada sekitar tahun 1650 di sebelah barat-daya kota Batavia, tepatnya di Jl. Petak Sembilan (Glodok) atau Jl. Kemenangan, dibangun klenteng bercorak Buddhis. Pada tahun 1755,  klenteng ini kemudian diberi nama Jin-de yuan oleh seorang “letnan” Tionghoa. Pada abad ke-18 atau kisaran tahun 1700-an, tak kurang dari 18 bhiksu tinggal di dalam Klenteng ini. Seperti kita ketahui, bhiksu adalah sapaan yang ditujukan pada pemeluk Buddha yang telah diupasampada dengan tradisi sekolah Mahayana, terutama bercorak Tiongkok.

Tahun 1814 M
Dari sumber sastra Jawa yang berjudul Serat Centini, pada Jilid 4, Kaca 131-146, sloka ke-7, ditemukan keterangan berita. Suatu ketika Mas Cebolang bertemu dengan rombongan wiku Buddha. Petikan sloka tersebut adalah:

“Kapanggih rombonganipun Brahmana Sidhi saking Hindhustan ingkang badhe nyantuni montên langsening tumbal. Sang Brahmana wawan rêmbag kalihan Mas Cêbolang, ngandharakên bab gêgêbênganipun Kabudhan, i.p. tatananing siswa dumugi guru, ajaran gêsang tumimbal, tanha, karma, cakramanggilingan, pambirating panandhang, gêgayuhan ing dalêm kasampurnaning Buddha, ilmu tuwin laku lan sanès-sanèsipun”.

Terjemahan bebas:
“Berjumpa rombongan Brahmana Sidhi dari India, yang akan melakukan (pelimpahan jasa?). Sang Brahmana berdiskusi dengan Mas Cebolang, dan membabarkan tentang ilmu Kebuddhaan. Seperti tata cara penghormatan seorang siswa kepada guru, ajaran tumimbal lahir, tanha-nafsu keinginan, hukum karma, Sebab-musabab yang saling bergantungan, cara meraih kebebasan dari dukkha (ketidakpuasan), cita-cita atau jalan mencapai Kebuddhaan, dan ilmu serta petunjuk tata susila lainnya”.

Dari sumber pustaka yang disusun pada tahun 1814 ini, dapat dimungkinkan, bahwa sebenarnya masih ada pemeluk Buddha beserta pemimpinnya (bhikkhu/bhiksu dan atau pandita) di Jawa. Hanya saja jumlahnya sangat sedikit dan hampir tidak pernah terekspos. Tentang corak tradisi sekolah apa dari para brahmana sidhi (bhikkhu/bhiksu) yang berjumpa Mas Cebolang saat itu, perlu dilakukan studi pustaka arsip lebih mendalam.

Kiri ke kanan: Seorang wiharawati Mahayana di Klenteng Jin-de yuan, Bhiksu Sanghanata Pen Ching Lau He Sang, dan Bhikkhu Narada Mahathera

Tahun 1838
Kembali ke Klenteng Jin-de yuan yang terletak di Glodok, Batavia (Jakarta). Ditemukan data yang berasal dari tahun 1838. Data yang bersumber dari arsip Gong-guan (Dewan Tionghoa) ini memberitakan, bahwa pada tahun itu ada seorang rahib kepala klenteng bernama Chong-qing. Saat itu ia ditunjuk sebagai seorang administrator yang membuat laporan tugas-tugas yang ditujukan kepada Zheng Chun-xi, seorang Kapiten Tionghoa. Tentu saja, rahib yang dimaksud di sini adalah seorang bhiksu dalam tradisi Mahayana. Selain para bhiksu, sudah ada pula wiharawati yang dikenal dengan sapaan, “niko” dan atau “rubiah”.

Tahun 1901
Pada tahun 1901, hadir seorang bhiksu asal China ke Semarang, untuk menetap selama tiga tahun di Wihara Tay Kak Sie (sekarang disebut klenteng). Beliau bernama Mahastavira Aryamula atau Sanghanata Pen Ching Lau He Sang (1878-1962). Bhiksu yang lahir di Desa Wu Chen Li, Kabupaten Phu Thien, Hokkian, China ini berasal dari Wihara Kuang Hua Sie, Provinsi Nan Shan. Beliau menjadi samanera dalam tradisi Mahayana pada usia 19 tahun, dan menjadi bhiksu setahun kemudian. Setelah bertugas di Tay Kak Sie, Semarang, Bhiksu Pen Ching kembali ke China untuk menetap di Wihara Yung Vhien Shi, di kota Fu Chaou.

Setahun kemudian, Bhiksu Pen Ching kembali ke Jawa, tepatnya di Bandung. Setelah melakukan perjalanan ke Cirebon dan Karawang. Beliau bermukim di Wihara Kuan Ti Bio yang waktu itu keadaannya porak poranda dan tak layak ditinggali. Sebagai bhiksu pertapa sederhana yang tekun samadhi, beliau berhasil memperbaiki wihara itu dan berikutnya menetap dari wihara satu ke wihara lain. Dari perjalanannya, dapat kita ketahui pula bahwa pada waktu itu, tepatnya pada tahun 1926, setelah Bhiksu Pen Ching sampai di Jakarta. Terdapat seorang bhiksuni yang telah berusia lanjut dan tinggal di Caitya kecil bernama Yii Lien.

Pada perjalanan berikutnya, Bhiksu Pen Ching menetap di Wihara Kong Hoa Sie, Jakarta. Pada saat itulah terdapat seorang pemuda bernama Tee Boan An (1923-2002) dari Bogor yang menimba ilmu kepadanya. Setelah sempat menjadi Anagarika, Tee Boan An menerima diksa samanera Mahayana pada bulan Juli 1953 dari Bhiksu Pen Ching, dengan nama Seck Tee Tjen.

Setengah tahun kemudian, samanera Seck Tee Tjen diupasampada bhikkhu dalam tradisi sekolah Theravada di Myanmar. Oleh Y.A. Agga Maha Pandita Bhaddanta U. Ashin Sobhana Mahathera, atau lebih dikenal sebagai Mahasi Sayadaw. Di kemudian hari kita kenal, bhikkhu yang ditahbis pada bulan April 1954 ini, adalah Maha Nayaka Stavira Ashin Jinnarakhita. Sang Pelopor kebangkitan Buddha Dhamma Nusantara yang merupakan bhikkhu pertama di Indonesia pada era kemerdekaan.    

Tahun 1934
Pada 4 Maret 1934, Bhikkhu Narada (1898-1983) dari Sri Lanka mendarat di Tanjung Priok atas undangan Ong Soe An, pegiat Theosofi dari Bandung. Hal ini bermula dari rentetan panjang upaya membangkitkan agama Buddha di Indonesia. Bermula dari sebuah konferensi pada 2 Agustus 1931 di gedung Khong Kauw Hwe, Solo. Hadir sejumlah pemimpin agama terkemuka di Hindia Belanda waktu itu. Seperti Tjia Tjiep Ling dari Surabaya, Ong Soe An dari Bandung, Liem Kiem Siang dari Semarang, Lim Tik Liang dan Uaw Ing Kiong dari Solo, dan Kwee Tek Hoay. 

Ong Soe An yang pernah aktif di KKTH dan Khong Kauw Hwee Bandung pada tahun 1920-an dan anggota Java Buddhist Association. Mendapat tanggung jawab penuh rencana kunjungan Bhikkhu Narada dari Sri Lanka. Berita kehadiran beliau sudah mulai terdengar di tanah air, sejak tanggal 23 Desember 1933 melalui majalah dan surat khabar.

Bhikkhu Narada Mahathera lahir di Sumanapala Perera, Kolombo, Srilanka, pada 14 Juli 1898. Sejak muda, bhikkhu terpelajar dan terkenal sangat teguh dalam vinaya ini sudah aktif membabarkan Buddha Dhamma ke penjuru dunia. Terutama Asia dan Amerika Serikat. Pada tahun 1929, beliau mewakili Sri Lanka pada upacara pembukaan baru Wihara Mulagandhakuti Sarnath, India.

Guyup Rukun, Keteladanan Pendahulu Sebagai Fondasi Kebangkitan Dhamma
Setelah kehadiran Bhikkhu Narada, perkembangan agama Buddha di Indonesia menjadi lebih pesat. Banyak penduduk Jawa dan Tionghoa, juga Belanda, berminat mempelajari Buddha Dhamma. Perlu dicatat oleh pembabar Dhamma atau Duta Dhamma, baik para wiharawan maupun pandita. Terutama pelaku organisasi-organisasi Buddhis, hingga para upasaka-upasika. Bahwa berhasilnya pembabaran Buddha Dhamma di Indonesia saat ini, salah satunya adalah buah dari keteladanan pendahulu kita.

Perlu dicatat baik-baik, bahwa pada bulan Januari 1934, telah terjadi kesepakatan di Klenteng Kwan Im Tong antara kepala klenteng, Bhiksu Lin Feng Fei dengan Pandita Josiast van Dienst mewakili Java Buddhist Association. Hasil kesempakatan itu adalah, klenteng bukan hanya sebagai tempat puja bakti warga Buddha Mahayana dan tradisi leluhur. Tetapi juga sebagai tempat untuk mendapatkan pelajaran agama Buddha. Kesepakatan itu dikuatkan oleh Pengurus Gong-guan (Dewan Tionghoa), suatu badan yang mengorganisir klenteng-klenteng di Jakarta. Lalu diikuti Gong-guan di tanah air.

Bhikkhu Narada Mahathera yang berlatar belakang tradisi Theravada, telah memberikan teladan kerjasama antar sekolah Buddhis sebagai batu pijakan-fondasi. Dalam kunjungan pertamanya, beliau disambut baik para bhiksu Mahayana dan berangkulan dalam keguyupan untuk kebangkitan Buddha Dhamma. Tercatat, Bhikkhu Narada Mahathera telah berkunjung sebanyak 13 kali ke Indonesia. Sampai dalam suatu kesempatan, Bhikkhu Narada berujar, “Walaupun seluruh dunia ini kuanggap sebagai ibu pertiwiku, namun negara Indonesia mempunyai sudut yang hangat dalam kalbu sanubariku”.

Wiharawan Pascaruntuhnya Majapahit?
Nah, itulah beberapa temuan adanya wiharawan yang sudah ada di Hindia Belanda, sebelum hadirnya Bhikkhu Narada Mahathera. Bila pada tahun 1700-an sudah hadir para bhiksu ke tanah air. Apakah masih ada jejak bhiksu/bhikkhu pascaruntuhnya Majapahit dan Pajajaran di pertengahan abad ke-15?

Penulis: Dhammatejo W.
Editor : Metta Surya

Daftar Bacaan:
– Gunadharma, Visakha, 1986. “Riwayat Hidup Singkat Almarhum Bapak Kwee Tek Hoay”, dalam Avalokitesvara – Kwan Im Po Sat. Jakarta: Panitia Peringatan Seabad Kelahiran Kwee Tek Hoay. Halaman xix-xxvi.
– Jayamedho, Bhikkhu, 2011, “Menapak Pasti, Kisah Spiritual Anak Madura”, Jakarta: Cenas (Center of Asian Studies).
– Juangari, Edij, 1995, “Menabur Benih Dharma di Nusantara: Riwayat Singkat Bhikkhu Ashin Jinarakkhita”, Bandung: Yayasan Penerbit Karaniya.
– Rashid, Drs. Teja S.M, tanpa tahun, “Sejarah Perkembangan Agama Buddha di Indonesia”, Jakarta: Tanpa nama penerbit.
– Salmon, CL dan D Lombard, 1985, “Klenteng-Klenteng Masyarakat Tionghoa di Jakarta”, Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka.
– Sidharta, Myra, 1989, “100 tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil Sampai Ke Pendekar Pena”, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
– Panitia, 1991, “Riwayat Pengabdian Y.A. Maha Nayaka Sthavira Ashin Jinarakkhita”, Jakarta: Panitia Hari Ulang – Tahun ke 69 dan 39 tahun pengabdian Y.A. Mahastavira Ashin Jinarakhita: 1-2.
– Panitia Penerbitan Buku Peringatan, tanpa tahun, “Mengenang Ven. Narada Mahathera”. Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama.
– Panitia Peringatan, 1973, “Buku Peringatan HUT 50 tahun Hoo Hap Semarang 1923-1973”. Semarang: Panitia HUT 50 Tahun Perkumpulan Hoo Hap Semarang.
– Panitia Waisak 2500, 1956, “Buddha Jayanti 2500”. Semarang: Persaudaraan Upasaka Upasika Indonesia.
– Panitia Waisak 2502, 1958, “Waisak 2502 Vihara Buddha Gayā”. Semarang: Panitia Perayaan Waisak 2502.
– Panitia Waisak 2503, 1959, “Waisak 2503 Vihara Buddha Gayā”. Semarang: Panitya Pusat Perajaan Waisak 2503. – – – Panitia Waisak 2509, 1965, “Perayaan Waisak 2509”. Semarang: Vihara Tanah Putih-Buddhis Indonesia.

Sumber foto:
Diambil dari foto yang tersemat pada beberapa daftar bacaan di atas

Share it!
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *