Carita Wiku lan Pandita

MENGENANG PAHLAWAN SEKALIGUS SESEPUH WIHARA TANAH PUTIH & MAPANBUDHI

Bhante Khemasarano Mahathera (tengah) bersama Rama Sabar Alym Kresna Adi (kanan) di dalam Dhammasala Maha Dhamma Loka, Wihara Tanah Putih Semarang. Tampak di bagian belakang adalah arca Buddha sumbangan masyarakat Buddha Thailand untuk Indonesia yang sebelumnya disematkan sebagai pratima puja di Wihara-Sima 2500 Buddha Jayanti, Bukit Kassapa, Pudak Payung, Kota Semarang.

Dalam sesrawungan di masyarakat, kadang mengemuka pertanyaan iseng, seperti:

Apakah warga Buddha pernah turut serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia?

Apakah ada pahlawan kemerdekaan dari warga Buddha?

Pertanyaan ini jelas tak tepat bila dipandang dari sudut pandang sejarah secara akademis.

Sebab ambruknya Wilwatikta-Majapahit, Pajajaran, Sriwijaya, Bali, Lombok, Dharmasraya, dan kerajaan lain bercorak Siwa-Buddha, salah satunya adalah karena rangsekan bangsa barat ke nusantara.

Memang benar, sesudah itu tanah air berganti keyakinan mengikuti perubahan zaman, yaitu Islam. Hal ini tidak menjadi suatu pesoalan.

Namun perlu dicatat, bahwa adanya perusahaan-perusahaan dengan sistem ekonomi Barat yang kini merajai kehidupan masyarakat modern dipelopori oleh VOC Belanda.

VOC Belanda Berdiri Sesudah Wilwatikta-Majapahit Rubuh

Nama aslinya adalah Geoctroyeerde Oostindische Compagnie yang lebih dikenal sebagai Vereenigde Oostindische Compagnie. VOC adalah badan dagang Belanda yang mempunyai tentara di dalamnya.

Badan dagang ini bertindak seperti “negara dalam negara” dan mengeruk kekayaan tanah air hingga menghancurkan rasa percaya diri bangsa Indonesia sejak tahun 1602.

Dalam hal ini, Raffles (2008: xix) menulis dalam pengantar The History of Java,

“Selama 10 tahun sebelum tahun 1780, angka penjualan rata-rata Badan Dagang ini terhitung lebih dari 20 juta gulden, yang tampaknya lebih besar dibanding tahun-tahun sebelumnya, terutama dari perdagangan yang dilakukan antara tahun 1648-1657, yang berjumlah sekitar 8 juta gulden per tahun. Jadi jelas, bahwa kehancuran badan ini bukan akibat kemunduran hasil perdagangan. Dari berbagai keterangan dalam buku-buku Hindia, ditemukan bahwa dari 1613 sampai 1696, keuntungan di Hindia, walau sedikit, selalu menyamai keuntungan yang diterima Eropa”.

Pahlawan Penting Tak Pernah Disunting
Dalam pada itu, sesudah Peristiwa Geger Pacinan 1740, disusul perlawanan penduduk pesisir utara Jawa Tengah kepada VOC Belanda. Perjuangan baik oleh orang Jawa maupun Tionghoa yang memeluk Islam, Kejawen Kabudhan, dan Kong Hu Cu jarang dikenal generasi penerusnya. Termasuk oleh warga Buddha sendiri.

Di bawah pimpinan Raden Panji Margana yang memeluk Kejawen Kabudhan, penduduk pesisir melangsungkan perang pada tahun 1743, 1747, dan 1750. Puncak dari perjuangan mereka akhirnya berhasil menjadi sebab rubuhnya VOC Belanda pada tahun 1899.

Raden Panji Margana gugur pada tanggal 26 Agustus 1750 sebagai seorang wirengsudra (wira: pahlawan, sudra: rakyat kecil, wirangsudra: pahlawan pembela rakyat kecil). Sementara itu, dua sahabat Raden Panji Margana juga turut gugur melawan Belanda. Tan Ke Wie, seorang pengusaha dermawan gugur di Pulau Mandalika tahun 1747. Dan Oei Ing Kiat, saudagar Muslim gugur beberapa jam sesudah Sang Wirengsudra tumbang di Puputan Lasem, Rembang.

Buku “Sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang” disusun Panitia Penyusunan Sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang.
Pada halaman 93 tercantum kisah Rama Sabar Alym, sesepuh Wihara Tanah Putih dan Mapanbudhi (sekarang Magabudhi) yang turut berjasa mempertahankan kemerdekaan Indonesia

Kisah kepahlawanan mereka ditulis rinci dalam sebuah karya sastra berjudul, “Carita Lasem & Sabda Badra Santi”. Jauh kemudian, pada tanggal 1 Januari 1965, salah satu sanak turun Raden Panji Margana berjasa besar mendukung U.P. Viradewa Djajakoesoema mendirikan “Buddhis Indonesia”. Tanggal berdirinya organisasi yang memisahkan diri dari Perbudhi Cabang Semarang ini kemudian diperingati sebagai hari lahir Wihara Tanah Putih, Semarang.

Nama sanak turun Raden Panji Margana dimaksud adalah U.P. Raden Panji Takrip Hadidarsana yang mempunyai sandi asma dalam karya tulis “Pujangga Argasoka” dan “Mbah Guru”. Ia adalah seorang guru SD sekaligus veteran perang kemerdekaan di Gubug, Kabupaten Grobogan.

Bersahabat dengan Bhante Khemasarano dan Rama Sabar Alym Kresna Adi
Raden Panji Takrip Hadidarsana adalah bangsawan Jawa pesisir salah satu pendiri Wihara Tanah Putih dan organisasi cikal bakal Theravada yang hampir tak pernah dikenal dan dikenang. Ia bersahabat dengan Raden Soedarsono-salah satu pendiri Yayasan Buddha Çanti yang waktu itu mengurus Krematorium Penggilingan di Bongsari, Semarang. Raden Soedarsono adalah ayah dari Raden Sabar Alym Kresna Adi yang berasal dari Grobogan, Jawa Tengah.  

Berdasarkan catatan hasil wawancara dengan mendiang Pandita Dharmaratna Henry Basuki, B.A. dan buku, “Sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang” diketahui bahwa Rama Sabar Alym adalah seorang veteran perang kemerdekaan. Ia adalah tokoh utama dan pertama yang memantik terjadinya Pertempuran Lima Hari di Semarang pada tanggal 15-19 Oktober 1945. Adapun kisah perjuangan Rama Sabar Alym adalah:

“Pada tanggal 20 Agustus 1945 pagi, sejumlah orang pucuk pimpinan dari Komite Perjuangan, di antaranya Mr. Soekardan, R. Abdoellah Joedokoesoemo, Ir. Hoesein dan Soepangat datang menemui para pejabat Jepang yang mengepalai Riyuku Sokyuku, dengan maksud untuk memberitahukan kehendak dari para pegawai Riyuku, untuk mengambil alih kekuasaan di jawatan tersebut dari tangan para pejabat Jepang. Pada waktu itu, kekalahan perang baru saja dialami oleh Jepang dan masih benar-benar mencekam para pejabat tinggi Jepang…

Pada hari itu juga, seluruh pegawai bangsa Indonesia kemudian dikumpulkan di halaman belakang kantor eksploitasi, dan dengan khidmad kemudian diumumkan pengambil alihan Rikuyu Sokyoku, yang kemudian dengan resmi dinamakan Jawatan Kereta Api Republik Indonesia, Bagian Jawa Tengah.

Kecuali di Pelabuhan Semarang, pengambil alihan perusahaan-perusahaan dan jawatan-jawatan tersebut di atas, telah dapat dilakukan tanpa kekerasan. Akan halnya pengambil alihan kekuasaan di Pelabuhan Semarang, pada awal mulanya, para pejabat Jepang di tempat itu telah bersitegang tidak mau menyerahkan kekuasaannya pada para pemuda, hingga mengakibatkan terjadinya insiden. Aksi pengambil alihan yang telah dimulai semenjak 25 Agustus 1945 baru berhasil dilaksanakan tanggal 30 Agustus 1945, yakni setelah terjadi insiden antara pihak Jepang melawan para pemuda dari AMRI, BKR, dan polisi istimewa di bawah pimpinan pemuda Sabar Alim. Dalam aksi itu telah timbul banyak korban”, – Sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang, hal: 93.

Petikan kisah perjuangan Rama Sabar Alym Kresna Adi pada buku “Sejarah Pertempuran Lima Hari di Semarang” halaman 93

Sesepuh Mapanbudhi Jawa Tengah
Mulai dekade tahun 1960-an, Rama Sabar Alym kemudian ikut terjun dalam pembabaran Buddha Dharma di Jawa Tengah sebagai pandita Mapanbudhi (sekarang Magabudhi). Rama Supardjo dari Purwodadi, Gombong mengenang, bahwa Rama Sabar Alym rajin blusukan membabar Buddha Dharma naik motor besar merek BSA yang diberi nama, “Kuda Kantaka”. Selain itu, sejak remaja ia bersahabat baik dengan N.H. Dini, novelis sekaligus penulis biografi Bhante Girirakhitto Mahathera karena sama-sama tinggal di Kampung Sekayu Temenggungan, tepatnya di belakang balai kota Semarang.

Demikianlah sederet kisah dari sumber catatan sejarah primer-asli, bahwa warga Buddha juga turut mengangkat senjata mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Selamat Hari Pahlawan…!

Penulis: R. Sukati
Penyunting: Metta Surya

Share it!
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *