Carita Wiku lan Pandita

Mengenang Bhante Aryasasano, Sesepuh Tantrayana dari Borneo

Y.M. Mahasthavira Aryasasano

Semula Pandita Sesepuh
Y.A. Mahasthavira Aryasasano adalah salah satu tokoh besar pejuang Dharma di negeri Indonesia yang tidak banyak dikenal generasi muda zaman sekarang. Namun, pada masa-masa awal pengembangan kembali Buddha Dharma di Nusantara, selaku Pandita dengan nama Dharmavirya beliau merupakan tangan kanan Maha Upasaka Sariputra Sadono, Ketua Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI), organisasi yang sekarang bernama Majelis Buddhayana Indonesia (MBI). Beliau juga ikut mendirikan Lembaga Dharma Duta Kasogatan.

Setelah menjadi biksu pada tahun 1974 beliau menjadi salah seorang tangan kanan Y.A. Mahasthavira Ashin Jinarakkhita, orang di balik kembalinya agama Buddha di Indonesia setelah era Keprabuan Wilwatikta-Majapahit. Y.A. Mahasthavira Aryasasano pernah menjabat Sekretaris Jenderal Sangha Agung Indonesia pada masa itu, selain sebagai pendiri Sangha Tantrayana Indonesia yang berada dalam naungan Sangha Agung Indonesia.

Bhante Aryasasano, sapaan akrab umat kepada beliau, adalah orang yang juga berada di balik lahirnya Sekretariat Bersama Persaudaraan Muda-mudi Vihara-vihara Buddhayana Indonesia (Sekber PMVBI), organisasi kepemudaan Buddhis terbesar saat ini. Beliau juga pernah menjadi Kepala Vihara Aryamularama di Cipanas.

Mengenal Buddha Dharma
Dilahirkan pada tanggal 10 Oktober 1923 di Pontianak, Kalimantan Barat, dengan nama Kasim Zaenal Alkadri, tidak ada yang menyangka bahwa anak yang suka akan ilmu dari kecil ini akhirnya akan membaktikan hidupnya demi kemuliaan dan kebahagiaan semua makhluk di Jalan Buddha.

Ia pertama kali mengenal ajaran Buddha dari ayah angkatnya, dr. Noto Sunaryo, seorang Jawa asli, yang selain memberinya nama Suharto, juga banyak mengenalkan peninggalan-peninggalan sejarah Jawa yang kebetulan bernuansa Buddhis. Tekadnya untuk mengikuti jejak Bodhisattva demi kebahagiaan semua makhluk semakin kuat setelah ia bertemu dengan guru spiritualnya, Y.A. Mahasthavira Ashin Jinarakkhita.

Berjumpa Mao Tse Tung
Sebelum menjadi seorang biksu, rasa ingin tahunya yang besar telah membawanya mencari ilmu hingga ke negeri Tiongkok, Vatikan, dan Mekkah. Ia mendalami sastra Tiongkok di RRT dan sempat bertatap muka dengan pemimpin RRT masa itu, Mao Tse Tung.

“Jangan hanya membaca dan menjadi kutu buku, tapi kita juga harus melihat sekeliling masyarakat. Dengan demikian kita baru bisa melakukan yang terbaik dan tepat buat masyarakat,” demikian kata-kata pemimpin besar RRT kepadanya pada kesempatan itu, kata-kata yang sungguh berkesan.

Selama di Tiongkok, beliau banyak belajar tentang kebudayaan dan sejarah di sana. Hal  ini membuatnya menjadi orang yang sangat mengerti dan bersimpati dengan kehidupan orang Tionghoa di Indonesia. Menurutnya, orang keturunan Tionghoa adalah orang yang filosofis sedangkan penduduk Indonesia lainnya bersifat agamis sehingga perlu dicarikan titik temunya.

Untuk menjawab tantangan tersebut, pandangan Buddhayana yang bersifat non-sektarian, dan menerima kemajemukan, menurutnya dapat mengakomodasikan hal tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

Pasrah Semeleh
Di usia senja, semangatnya masih menyala seolah tak akan pernah padam, dan nyatanya bahkan sampai saat-saat akhir hidupnya warisan kebajikan dan nilai keceriaan beliau dalam menjalani hidup sehari-hari tak pernah padam.

Kepada generasi muda, beliau tidak henti-hentinya mengingatkan untuk terus belajar dan berdoa, untuk tidak mementingkan diri sendiri, untuk dengan betul-betul mendengarkan sepenuh hati kebutuhan umat dan masyarakat banyak. Cinta kasih dan perhatiannya yang orisinal telah menjadi aspirasi untuk tidak menyerah dalam hidup ini.

Bagi beliau, doa merupakan wujud dari kerendahan hati dan sumber kekuatan. Satu kali beliau bercerita bagaimana beliau mengalami stroke berat. Berkat doanya yang kuat dan keyakinan teguh kepada Bodhisattva Avalokitesvara (Kwan Im Pho Sat), beliau akhirnya bisa sembuh sama sekali.

“Ketika terkena stroke, saya berserah diri dan berdoa kepada Kwam Im Pho Sat agar saya diberikan yang terbaik oleh Kwam Im Pho Sat. Kalau saya harus mati, saya akan menerimanya karena itulah yang terbaik yang diberikan oleh Kwam Im Pho Sat kepada saya. Tapi ternyata bukan itu yang saya terima, saya sekarang masih sehat, mungkin tidak ada orang yang sudah terkena stroke bisa sehat seperti kondisi saya sekarang ini.”

Beliau berbagi kepada anak-anak muda untuk tidak berdoa agar menjadi kaya, atau agar bisa mendapatkan jabatan ini atau jabatan itu. “Tapi berdoalah dengan keyakinan yang kuat, apapun hasilnya, harus kita terima dengan tulus karena itulah yang terbaik yang diberikan oleh Bodhisattva kepada kita.”

Pesannya agar kita semua tidak menjadi munafik, tetapi sebaliknya agar selalu jujur kepada diri sendiri dan orang lain, tampaknya bahkan semakin relevan untuk kondisi kita sekarang ini.

Y.A. Mahasthavira Aryasasano wafat di Jakarta pada tanggal 16 September 2005 dalam usia 83 tahun. Umat Buddha di tanah air kehilangan salah seorang tokoh terbaiknya. Namun, seperti yang selalu dicontohkan oleh beliau dalam menjalankan hidup dan melayani umat, semangat untuk selalu berbagi kebahagiaan dan keceriaan kepada sekeliling tampaknya tidak akan pernah sirna. Kita semua yang akan melanjutkan dan menjadi kelanjutan beliau.

Penulis: Y.M. Dharmavimala Mahathera
Naskah di atas dibacakan pada upacara perkabungan mendiang Y.A. Mahasthavira Aryasasano di Ekayana Buddhist Centre, Jakarta, pada tanggal 16 September 2005.

Naskah dikirim Rama Tara Lozzang

Share it!
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *