“Mengapa Saya yang Menjadi Bhikkhu? Karena Saya Membayar Hutang!”
(Bagian 1 dari 2 tulisan bersambung, dalam rangka Mangayubagyo 50 vassa Bhikkhu Jinnadhammo Mahathera)
Kalimat itu diucapkan Ashin Jinnarakhita kepada Sunardi setengah abad lampau. Ia tidak sedang marah, namun wujud ungkapan cinta kasih dan kasih sayang seorang guru pada muridnya. Entah sudah berapa kali Bhikkhu yang juga familiar disapa Sukong itu. Terus mendorong pemuda kelahiran 3 September 1944 dari Desa Simo, Boyolali, untuk menjadi bhikkhu.
Meski dari desa, putra ketiga dari enam bersaudara pasangan Mbah Admo Mustam dan Mbah Putri Sadiem itu, punya kedudukan istimewa di depan Sukong. Saat itu, Sunardi adalah asisten pribadi Bhikkhu Sang Perintis Kebangkitan Buddha Dharma Nusantara. Ia mengabdi sejak dekade tahun 1960 di Wihara Vimala Dharma, Bandung. Kesadaran Sunardi tergugah setelah dengan tegas Ashin Jinnarakhita mengungkapkan penegasan:
“Mengapa bukan Jendral Gatot Subroto?
Mengapa bukan Jendral Sumantri?
Mengapa bukan Maha Upasaka Mangunkawatja,
yang menjadi bhikkhu untuk membangkitkan agama Buddha?
Mengapa saya yang menjadi bhikkhu?
Itu karena saya membayar hutang!”
Entah apa yang yang dimaksud Ashin Jinnarakhita dengan membayar hutang. Terpenting setelah itu, Sunardi memahami makna ungkapan gurunya.
Satu dari Pelaku Sejarah yang Tersisa
Sunardi yang sejak kanak-kanak gandrung dengan seni budaya bangsa sendiri, terutama wayang. Setelah mendengar nasihat di atas, ia menjadi samanera bernama Dhammasushiyo yang ditahbis sendiri oleh Ashin Jinnarakhita. Lalu pada tanggal 8 Mei 1970 yang bertepatan dengan Vesakha Puja. Ia diupasampada di stupa induk Candi Borobudur.
Berdasarkan penuturan para sesepuh, peristiwa bersejarah yang berlangsung pada sore hari pukul 16.20 WIB itu, diwarnai fenomena alam istimewa. Saat itu langit di atas Candi Borobudur dihiasi pemandangan pelangi nan indah. Seolah-olah tanda kehadiran Dewa Mandarawa atau Dewa Hujan, yang mewakili para dewa di alam bahagia. Untuk turut bersuka cita dengan memercikan air pemberkahan.
Sunardi tidak seorang diri. Ada empat orang samanera lain yang diupasampada bersama dirinya. Mereka adalah: 1). Samanera Jinasuryabhumi (U.P. Dharmapala atau Nirihuwa Bermandus), kemudian menjadi Bhikkhu Aggajinamitto; 2). Samanera Dhammasila (Tan Hiap Kik), kemudian menjadi Bhikkhu Uggadhammo; 3). Samanera Dhammavijaya (Tiong Khouw Siw), kemudian menjadi Bhikkhu Sirivijoyo; dan 4). Samanera Dhammabhumi (Djumadi), kemudian menjadi Bhikkhu Saccamano. Untuk dua nama terakhir, sudah lepas jubah. Sunardi sendiri mendapat nama upasampada, Bhikkhu Jinnadhammo.
Pada upacara upasampada istimewa itu, hadir bhikkhu-bhikkhu penting yang mengisi lembaran sejarah agama Buddha di Indonesia dan dunia. Para Yang Mulia itu adalah:
1). Phra Sāsana Sobaṇa (kelak menjadi Somdet Phra Ñāna Samvara Somdet Phra Saṅgharāja – wafat) sebagai Upajjhāya;
2. Phra Dhammasobhaṇa (gelar terakhir Phra Ñāṇavarodom – wafat);
3). Phra Kru Palat Atthacariyanukit (gelar terakhir Phra Rajvaracharn / Bhikkhu Vin Vijano- wafat) sebagai Acariya;
4). Phra Kru Palat Sambibatanaviriyacariya (Gelar terakhir Phra Dhammacetiyacharn/Bhikkhu Suvirayan);
5). Phra Khantipālo; dan
6). Phra Subhato (Muktar Rashyid – wafat).
Sesepuh yang Merangkul Banyak Pihak
Tak lama setelah upasampada, Sunardi berdiam selama 2 tahun di Wat Bowonniwet Vihara Rajavaravihara, Thailand. Ia menimba ilmu sekaligus melatih samadhi bersama guru-guru di sana. Setelah kembali ke tanah air, Bhikkkhu Jinnadhammo membaktikan diri dalam banyak karya pengabdian, utamanya di Pulau Sumatera. Seperti sebagai guru, pendiri sekolah, pendiri wihara, mengaktifkan sekolah minggu, menginisiasi bakti sosial, bantuan kemanusiaan lintas agama, dan masih banyak lagi.
Bhikkhu Jinnadhammo yang berdisiplin vinnaya Theravada dan berhimpun pada Sangha Agung Indonesia ini. Selalu menunjukkan sifat falsafah luhur bangsawan Jawa trah Majapahitan. Yaitu momor (mau menerima siapapun), momot (mau menampung apapun), kamot (selalu muat, tak pilih kasih dan membedakan), dan hamemangkat (bersikap hormat pada apapun dan siapapun). Hal ini tampak dengan bersedianya beliau menjadi penasihat Wihara Maha Sampatti yang berada di bawah naungan Sangha Theravada Indonesia. Ia juga sering hadir dan berceramah pada perayaan agama Buddha di wihara-wihara Mahayana, dan bersahabat dengan banyak tokoh lintas agama dan pemerintah.
Penulis: Gusti Ayu Rus Kartiko
Editor : Dhammatejo W.
Koleksi foto dan artikel kiriman Bapak Siky Hendro Wibowo, yang diambil dari berbagai rujukan sumber terkait. Seperti dari dokumentasi /oldphoto/history of ordination five monks at great stupa borobudur central java 1970/sourced/50vassab.jinadhammo/2019.
One Comment
Siswanta
Luar biasa, patut sebagai rujukan literatur generasi muda penerus perkembangan agama buddha di Indonesia, agar terwujud pemahaman yang menyeluruh tentang Dharma, dan membawa kebaikan bagi semua mazhab/ aliran agama Buddha