Carita Buddha Dharma Nusantara

Kembalinya Tradisi Mandala Kadewaguruan di Ujungpara

Sosok tinggi kurus namun kiyeng itu beranjak maju ke depan altar. Tangannya sedikit gemetar saat meraih mikropon untuk memulai pidato. Sikap tubuhnya tegap sempurna. Sesekali jakun di lehernya terlihat jelas waktu ia menarik nafas panjang untuk mengurangi kegugupannya. Joko Adi Pradana namanya. Ia bersama lima orang kawannya baru saja lulus dari pesantian Buddhis yang berdiri di bumi Ujungpara, penerus Shima Kalingga; nama kabupaten yang kini kita kenal sebagai Jepara.

Malam itu (4/4/2019), Joko bersama lima orang anak pesantian lain yang telah lulus SMP dan SMA, diserahkan kembali oleh pengasuh Pesantian Dharma Manggala, kepada orangtua masing-masing. Dharma Manggala adalah lembaga anak asuh di bawah naungan Yayasan Buddhayana yang secara khusus menyelenggarakan pendidikan Buddhis ala asrama. Acara selamatan diawali puja bakti dilanjutkan sambutan-sambutan, dan pemotongan tumpeng. Pesantian ini berada di komplek Wihara Surya Karuna, Dukuh Congger, RT 07 RW 02, Desa Tunahan, Kecamatan Keling, Jepara.

Tradisi Kuno yang Kembali

Keheningan WIhara Surya Karuna yang tiba-tiba ramai dengan hadirnya orang tua asuh dari Jakarta. Rombongan donatur anak asuh dipimpin Ibu Yani Liem

Terdapat beberapa sumber adanya tradisi pendidikan Buddhis bercorak nusantara di masa lampau. Salah satunya adalah Mandala Kadewaguruan dengan maha rsi atau dewaguru sebagai pemimpin atau kepala sekolah. Ia dibantu murid senior atau guru muda yang disebut ubwan, ajar, dan manguyu. Pada tradisi itu, para sisya atau murid, tinggal menetap bersama guru dengan sistem mandala. Yaitu suatu area asrama pemondokan yang berdiri di sekitar pondok induk membentuk lingkaran. Pondok induk adalah pusat tempat belajar (sekolah) sekaligus tempat tinggal guru sebagai inti dari kadewaguruan. Pemondokan di lingkaran inti hingga terluar menunjukkan tingkatan pengetahuan.

Pendidikan kadewaguruan dan sejenisnya pernah mengalami kejayaan pada masa pemerintahan Prabhu Hayam Wuruk (1350-1389), seperti tercatat dalam Nagarakrtagama. Pada masa itu, terdapat pula murid yang disebut dengan sastrin. Ialah mereka yang mempelajari bagian-bagian dari Sutra Tri Pitaka. Bagian-bagian Tri Pitaka itu disebut dengan dirghama – kata yang kemudian menjadi sumber istilah agama. Bagi yang tertarik obat-obatan, ia mempelajari mantra yang kelak sesudah lulus, disebut mantri. Ada juga pelajar bahasa Jawa kuna yang disebut dengan kawi. Ia yang lulus dari pendidikan ini nantinya menjadi tenaga ahli kerajaan di bidang kesusasteraan dan filsafat yang disebut dengan bujangga (baca: pujangga).

Suatu hal yang menarik dari tradisi pendidikan di atas, terdapat kebiasaan sarasehan (diskusi) selepas para siswa belajar. Melalui sarasehan, para siswa menghabiskan waktu untuk berdiskusi bersama guru atau senior di sebuah teras yang disebut dengan mandapa. Kebiasaan ngobrol bebas di mandapa ini di kemudian hari menjadi tradisi bercengkerama penduduk nusantara, terlebih di Jawa. Baik saat menerima tamu sembari minum teh atau kopi panas disertai penganan. Maupun untuk berlatih seni budaya Jawa seperti seni tari, tembang, maupun karawitan. Mandapa inilah yang kini kita kenal sebagai pendapa (baca: pendopo).

Rama Wartono selaku perwakilan Pengasuh, saat menyampaikan sambutan di depan hadirin dan bhikkhu sangha

Kata pesantian dekat dengan kata pesantren, yang kita kenal sebagai tradisi pendidikan agama Islam. Seperti ungkapan Presiden Abdurahman Wahid atau Gus Dur dalam suatu kesempatan. Bahwa pesantren berasal dari kata santi yang berarti tenang atau damai. Sistem pendidikan Buddhis di masa lampau ini, kemudian diadopsi menjadi pesantren yang kita kenal.  

Lembaga Dharma Manggala

Lembaga Dharma Manggala berdiri dari gagasan Bhikkhu Dr. Nyanakaruno Mahathera, Bhikkhu Santavanno Thera, dan Bhikkhu Tannapanno. Awalnya pada tahun 2015 lembaga ini baru mengasuh satu orang siswa SMA. Kemudian seiring bertambahnya perhatian dan dukungan dermawan, jumlah siswa asuh bertambah.

Pada tahun 2015 dan 2016, masing-masing bertambah 8 anak asuh; tahun 2017 bertambah lagi 16 anak asuh; tahun 2018 hanya bertambah 3 siswa asuh. Serta pada  tahun 2019 ini, bertambah 4 orang siswa asuh. Sehingga saat ini Pondok Pesantian Dharma Manggala sudah mengasuh 40 orang siswa mulai dari tingkat SMP dan SMA. Ini belum termasuk sejumlah siswa KB-TK Dharma Putra yang berdiri tak jauh dari wihara. Serta 3 orang mahasiswa, dan 1 orang mahasiwi pascasarjana yang kuliah di beberapa perguruan tinggi.

Para siswa asuh berasal dari berbagai daerah. Terbanyak dari Jepara sendiri, ada yang dari Boyolali, Wonosobo, Lampung, Rembang, dan Lombok. Mereka disediakan asrama putra dan putri, lengkap dengan fasilitas pendukungnya. Seperti ruang belajar dan rekreasi. Untuk membentuk karakter para siswa asuh, disusun peraturan dan tata tertib sebagai bentuk disiplin dan kasih sayang. Seperti sebagaimana saat mereka tinggal bersama orangtua masing-masing. Bedanya, peraturan tata tertib disusun dalam suasana gotong royong dilandasi semangat asah-asih-asuh antara penghasuh, kakak asuh atau senior, dan sesama anak asuh.

Seperti dituturkan Vita Ayu Adiyanti misalnya. Gadis asal Donorojo kelahiran tahun 2002 ini selalu mengawali kegiatan harian dengan puja bakti bersama kawan-kawannya. Setelah itu mereka kerja bakti, mandi, dan makan pagi bersama. Para anak asuh berangkat ke sekolah di SMP dan SMA Negeri di Kecamatan Keling, Jepara hingga siang, bahkan sore hari. Pulang sekolah, mereka mengisi kegiatan masing-masing sesuai minat dan arahan pengasuh. Salah satunya dengan mengikuti pelatihan seni budaya jawa, karawitan, membantu melayani usaha isi ulang air minum, dan berbaur dengan masyarakat sekitar.

Harapan Berbagai Pihak

Bhikkhu Dr. Nyanakaruno Mahathera menuturkan, “Tugas kami membantu anak-anak Buddhis berkembang. Mereka sekolah, berlatih mandiri, dan bertumbuh dengan pola asuh Buddha Dharma bersama wihara dan lingkungan. Setelah lulus sekolah, mereka bebas berkembang. Kami tidak mengatur atau mengikatnya untuk mengharap cinta kasih kami dibalas”.

Demikianlah kemudian, Joko Adi Pradana dengan sedikit terbata-bata menyampaikan sambutan di hadapan hadirin. Ia merasa beruntung dapat menjadi bagian dari anak asuh Pesantian Dharma Manggala. Kepada para bhikkhu, dan upasaka pembimbing yang hadir, ia yang mewakili lima orang anak asuh yang malam itu dilepas, menyatakan anumodana kepada berbagai pihak. Selain memohon maaf atas kekeliruan dan kesalahan yang mungkin pernah dilakukan selama tinggal di Pesantian Dharma Manggala. Joko dengan penuh semangat mengharap adik-adiknya untuk terus belajar dan meningkatkan kualitas diri. Tampak di deretan tamu undangan, rombongan donatur dari Jakarta yang dikoordinir Ibu Yani Lim, didampingi Ketua Pengurus Wihara sebagai perwakilan Pengasuh, Rama Wartono.

Pesantian di Guwa, Donorojo

Tradisi pesantian Buddhis agaknya mulai bertumbuh kembali di pesisir utara Jawa Tengah. Selain pola pendidikan seperti diselenggarakan Lembaga Dharma Manggala di atas. Di Desa Guwa, Kecamatan Donorojo, Jepara, belakangan ini secara ajeg diselenggarakan kegiatan pesantian singkat. Yaitu suatu pelatihan singkat bagi pelajar Buddhis untuk mengisi liburan sekolah dengan praktik Buddha Dharma. Adalah Bhikkhu Khemadhiro, seorang bhikkhu muda yang membaktikan dirinya untuk mentradisikan kembali budaya pertapaan Buddhis, khususnya bagi pelajar.

Para anak asuh Pesantian Buddhis Dharmma Manggala, antusias menyambut salah satu orang tua asuhnya, Ibu Yani Liem dari Jakarta

Kini di pesisir utara, telah terdapat tiga jenis pesantian Buddhis untuk dapat dipilih sebagai lembaga pembentuk karakter pemuda Buddhis. Yaitu: (1). Pabbajja samanera sementara khusus pelajar yang ajeg diselenggarakan di Wihara Ratanavana Arama, Lasem. Suatu kegiatan bagi remaja untuk berlatih merasakan menjadi seorang pertapa selama dua minggu pada liburan pergantian tahun ajaran; (2). Pelatihan Athasila/i di Guwa, Donorojo sebagai kegiatan pengisi liburan. Program bagi upasaka-upasika untuk membentuk pendidikan karakter dan budi pekerti Buddhis; dan (3). Pesantian Buddhis Dharma Manggala di Tunahan, Jepara. Pendidikan sekolah formal dipadu tradisi hidup wiharawan awam.

Sudah tiba saatnya wihara-wihara di seluruh penjuru tanah air ditingkatkan lagi peran dan fungsinya. Bukan hanya sebagai pusat kegiatan ritualitas semata, tetapi juga sebagai pusat peradaban masyarakat, termasuk pendidikan, ekonomi, pemberdayaan, dll. Harapannya wihara tidak hanya guyup ketika hari minggu atau ketika perayaan hari besar saja, tetapi memberi manfaat sepanjang hari.

Penulis: Dhammatejo W.
Editor: Cittasukho W.

Share it!
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  

One Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *