
Bhiksu “Soko Tatal” Keturunan Sunan Kalijaga
Berdasarkan Carita Lasem & Sabda Badra Santi (Mbah Guru: 1985) dikisahkan, bahwa salah satu keturunan Mpu Santi Badra yang bernama Santi Kusuma, kelak di kemudian hari dikenal sebagai Kalijaga. Pada suatu ketika, di saat para wali sangha mendirikan masjid di Demak. Kalijaga menyumbangkan sebuah tiang soko unik untuk melengkapi sejumlah tiang yang diperlukan.
Tiang soko buatan Kalijaga terbuat dari kepingan-kepingan kayu jati atau tatal (jawa), yang disatukan. Secara bahan, tiang buatan Kalijaga kuat menyangga atap joglo susun tiga. Juga tahan gempa dan terpaan angin yang kencang. Namun di balik itu, terdapat filosofi bernilai tinggi dari “tatal” tiang soko karya Kalijaga.
Nilai itu adalah kepingan-kepingan kecil yang diikat dengan tali persatuan kesatuan, akan kuat menyangga beban berat yang disangga. Kelak, nilai-nilai persatuan kesatuan ini terlukis indah dalam Pancasila sebagai Dasar Negara. Serta nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika sebagai sesanti sakti Garuda Pancasila, lambang negara Indonesia.
Keluarga Pancasila Sanak Turun Kalijaga
Gambaran nilai luhur “tatal” tiang soko bangunan joglo Kalijaga masih dapat kita temui dari keceriaan dan kebahagiaan salah satu keturunannya. Seperti dituturkan Ratya Mardika Tata Koesoema kepada Badrasanti.or.id dalam rangka merayakan Idul Fitri 1440 H/2019 baru-baru ini.
“Saya Ratya Mardika Tata Koesoema. Saya anak ragil (bungsu) dari lima bersaudara yang lahir dari pasangan R.M. Tridaja Koesoemasardjana dan Ibu Raden Ayu Kartini Dewi Merapi” ujarnya. Ia melanjutkan “Sejak kecil, orangtua kami selalu mendidik dan menanamkan nilai-nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika kepada putra-putrinya. Nilai-nilai akan keberagaman kekayaan Indonesia. Termasuk agama atau keyakinan yang sudah diajarkan turun-temurun dan menjadi tradisi sejak dahulu kala.

Mendiang kakek dari ibu yang bernama Sayid Muhammad misalnya, selalu mengajarkan nilai-nilai keislaman dan Pancasila kepada keluarga. Kebetulan, Eyang Sayid Muhammad adalah keturunan Sunan Kalijaga, yang mempunyai garis silsilah runut (genealogis) dari Sunan Kalijaga hingga ibu saya.
Demikian halnya dengan kakek dari ayah saya yang bernama R.M. Sarwadi Prabawijaya. Semasa hidup, beliau selalu menanamkan penghayatan terhadap nilai-nilai Pancasila. Terlebih pada piwulang luhur ajaran Jawa.
Sehingga, penanaman nilai-nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika terus lestari hingga orangtua kami. Hingga dalam memilih agama, ayah dan ibu membebaskan kelima orang putra-putrinya untuk mengenal dan memilih agama sesuai keyakinan masing-masing.
Putra-putrinya bebas memeluk dan beribadah sesuai agama dan kepercayaan yang dianutnya. Walhasil, kami berlima memilih dan memeluk agama yang berbeda-beda. Namun dalam keseharian, kami tetap guyup rukun dan memegang teguh keselarasan keluarga besar.
Berikut adalah selayang pandang kehidupan beragama kami lima bersaudara secara berurutan: (1). Kakak pertama saya, Raneng Marhaendra Tinong Koesoema adalah pemeluk Buddha. Kini ia menjadi seorang bhikkhu bernama Ashin Kheminda Thera. Ia di-upasampada menjadi bhikkhu dalam corak Theravada di Myanmar sejak tahun 2001;
(2). Kakak kedua, Rekta Mandrawa Tinon Koesoema adalah pemeluk Kristen; (3). Nomor tiga adalah Rinong Mardika Tata Koesoema, seorang muslimah aliran Salafi; (4). Kakak nomor empat, Rindoe Mahatsih Tantri Koesoema, adalah penganut Kristen Katolik; dan (5). Saya sendiri adalah penganut Kejawen. Sementara Ibu saya adalah pemeluk agama Islam yang taat.

Perkawinan Beda Suku dan Agama
Selain perbedaan agama di antara kami lima bersaudara, orangtua kami juga mengizinkan putra-putrinya untuk kawin berbeda suku dan agama. Ada saudara saya yang kawin dengan sesama orang Jawa, ada pula yang berumah tangga dengan keluarga Tionghoa.
Hal ini dapat terjadi karena sejak kecil, kami semua terbiasa menghargai dan menghormati semua suku, agama, ras, dan antar golongan apapun yang ada di Indonesia. Selain itu, berdasarkan penuturan kakek-nenek, kakek-nenek dari kedua orangtua kami pernah turut berjuang mengangkat senjata mempertahankan kemerdekaan.
Maka kakek nenek sering berpesan, kisah pilu rasanya pertengkaran karena sekat-sekat perbedaan, jangan sampai menodai perjuangan luhur para pahlawan pendiri bangsa dan negara Indonesia.
Pada era kemerdekaan, kakak dari ayah kami yang bernama K.R.M.H. Toeloes Koesoemaboedaja adalah salah satu Anggota Manggala BP-7 Pusat (beliau adalah ayah mertua dari Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S., salah satu hakim di Mahkamah Konstitusi).
K.R.M.H. Toeloes Koesoemaboedaja adalah salah satu anggota Perumus Eka Prasetia Pancakarsa atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, yang lebih dikenal sebagai P 4. Selain itu, beliau adalah satu-satunya anggota DPR RI masa bakti 1982-1987 yang dengan tegas mengaku beragama Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Pakdhe Tulus, demikian kami biasa menyapa, mencantumkan keterangan agamanya baik di kolom KTP dan administrasi kependudukan lainnya.
Itulah mengapa akhirnya, nilai-nilai Pancasila dan Kebhinekaan benar-benar meresap hingga ke urat dan sumsum saraf tulang kami lima bersaudara. Serta sanak turun Sunan Kalijaga lainnya yang secara berkala ajeg melakukan dharmayatra di Kadilangu, Kabupaten Demak.
Unity in Diversity
Demikianlah suasana keceriaan keluarga kami. Dalam ungkapan bahasa Inggris, semboyan Bhineka Tunggal Ika berbunyi Unity in diversity. Dan keanekaragaman di keluarga kami sungguh-sungguh hadir dan nyata. Sebagai sanak turun Sunan Kalijaga, kami diajarkan rasa saling asah-asih-asuh dalam segala perbedaan sejak kami kanak-kanak.
Seperti suasana perayaan Idul Fitri 1440 H/2019 hari ini. Pagi-pagi sekali, kakak ketiga saya, Mbak Rinong dengan lugas menjelaskan bagaimana ajaran Salafi yang dianutnya, “Penganut Salafi yang sejati tidak mengkafir-kafirkan yang lainnya. Tidak ikut-ikutan demo. Apalagi makar, dan sejenisnya”. Demikian ungkap kakak yang sehari-hari mengenakan jilbab dan bahkan anak perempuannya diizinkannya bercadar (tapi bukan burqa, hanya sekedar bercadar).
Lebih lanjut ia mengisahkan pengalamannya mengikuti suatu pengajian. Lalu ada seorang peserta yang bertanya kepada Ustadznya, “Apakah Presiden kita kafir?”. Pertanyaan itu langsung dibalas Sang Ustadz, “Masya Allah…kamu silakan mengaji di luar sana. Jangan di sini!”. Demikian pernyataan Sang Ustadz menunjukkan kewajiban pada penganut Salafi untuk cinta tanah air dan pemimpinnya.
Mbak Rinong juga menjelaskan, “bahwa penganut Salafi yang benar tidak ada hubungannya dengan mereka yang suka menghujat aparat keamanan (tentara dan polisi) dan menghujat Pancasila sebagai Dasar Negara. Serta mengingkari dan memberontak pada NKRI. Penganut Salafi yang benar, tidak ada hubungannya dengan HTI”.
Selain keterangan kakak ketiga saya di atas. Kami berlima sering bertukar pikiran, dan jagongan sambil berbincang tentang agama yang kami peluk masing-masing. Sehingga kami bisa membantu memperbaiki atau meluruskan berita bohong (hoax) yang seringkali tersebar bebas dan merisaukan masyarakat.
Demikianlah gambaran keluarga kecil kami yang terdiri dari beragam suku dan agama. Kami berharap, kisah ini dapat menginspirasi keluarga-keluarga lain di seluruh penjuru tanah air. Sehingga cita-cita pendiri bangsa dan negara Indonesia untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur dapat selalu tercapai.
Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti – Sikap angkara murka dan kekuasaan yang serakah, akan sirna oleh kekuatan cinta kasih dan kasih sayang.
Penulis: Dhammatejo W.
Editor: Cittasukho W.
Sumber wawancara: Ratya Mardika Tata Koesoema
Keterangan:
Bhikkhu (Pali) dan Bhiksu (Sanskerta) adalah penerima derma yang baik. Artinya adalah seorang pertapa Buddha yang hidup dari belas kasihan orang lain.
Wiku (Jawa Kuna) adalah bhikkhu atau bhiksu dalam istilah Wilwatikta-Majapahit yang kini masih lestari di Desa Buddhakeling, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali. Wiku adalah pemimpin agama Buddha Tantrayana Kasogatan yang mempunyai kekhasan corak Buddha nusantara.
You May Also Like

Tahi Lalat di Paha Selir Brawijaya. Kutukan atau Berkah?
July 2, 2019
5 Comments
Widwidodo
Keren
PADMA DHYANA
Menginspirasi.
PADMA DHYANA
Sangat menginspirasi
Lani
Mantap! Bhineka tinggal Ika.
Pingback: