Beda Dengan di Timur Ungaran, Api Dharma di Grobogan Terus Berkobar
“Tercatat dalam sejarah, bahwa pada tahun 1526, Sultan Trenggana, penguasa Demak saat itu memimpin penyerangan sisa-sisa penerus Kerajaan Wilwatikta (Majapahit) di Kediri. Untuk mempertahankan diri, Wilwatikta sempat meminta bantuan Kerajaan Vijayanagar di India. Namun sayang Sang Raja tak dapat membantu Wilwatikta. Vijayanagar sendiri sedang kepayahan lalu ambruk menghadapi serangan Sultante, kerajaan bercorak Islam di India. Akhirnya, sisa-sisa Kerajaan Wilwatikta di bawah Girīndrawarddhana itu ambruk.
Dalam penyerangan Demak ke Kediri, Sultan Trenggana tewas menemui ajalnya. Sisa pasukan Demak yang dipimpin Sunan Ngundung – seorang pendatang yang menduduki Kerajaan Tajug (sekarang Kudus) berhasil masuk istana yang sudah kosong. Saat itulah banyak pusaka Wilwatikta diangkut sebuah grobog yang ditandu sejumlah prajurit ke Demak. Namun naas, dalam perjalanan di sebuah hutan sebelum masuk wilayah Demak. Grobog berisi pusaka Wilwatikta itu lenyap misterius seolah tak sudi diusung ke Demak. Terheran-heran menyaksikan kenyataan itu, Sunan Ngundung memberi tanda peringatan, daerah itu disebut Grobogan.
Sesudahnya, Jejak Siwa Buddha hanya tersisa di Blambangan dan Bali. Berdasarkan folklor (cerita rakyat) setempat dituturkan, bahwa kelak di kemudian hari, dari Grobogan-lah api semangat Wilwatikta kembali disulut. Ini karena Grobogan berjasa besar mengamankan pusaka Wilwatikta dari jarahan penyerangnya. Tandanya, tiap peringatan Tri Suci Waisak, api Waisak di Mendut-Borobudur disulut dari sumber api abadi, di Mrapen, Grobogan”
Jejak Peradaban Kuna
Kabupaten Grobogan adalah wilayah kabupaten terluas kedua di Jawa Tengah sesudah Cilacap. Letaknya unik di antara dua punggung pegunungan Kendeng Lor dan Gunung Kapur Selatan yang memanjang hingga Wonogiri. Selain dongeng kisah sejarah suksesi kekuasaan masa lalu seperti di atas, Grobogan juga menyimpan peradaban besar kuna lainnya di masa lalu. Ini bisa diketahui dari adanya temuan arca Buddha di Desa Banjarejo, Gabus; temuan lingga yoni dan serakan batu-bata kuna di Desa Ngombak, Kedungjati; dan temuan arca Buddha dari abad ke VIII yang kini disematkan sebagai pratima di sebuah wihara (Dok. Sinar Dhamma Loka-Pen).
Di zaman kemerdekaan, peradaban bercorak Buddhis bangkit kembali sesudah Bhikkhu Narada dan Ashin Jinarakkhita mengunjungi kediaman salah satu sesepuh Sikep (Samin). Saat itu, kedua beliau menyempatkan diri sarasehan Dharma dan Budaya di rumah adat Sikep di Pati yang berbatasan dengan Blora dan Grobogan, pada tahun 1958 (Majalah “Buddhis”, 1958 No. 3-4: 55).
Sesudahnya, melalui jaringan Gabungan Tri Dharma Indonesia yang diteruskan PUUI, lalu dilanjutkan oleh Perbudhi dan Buddhis Indonesia. Agama Buddha pelan-pelan nglilir dari tidurnya yang panjang. Saat itu, di bawah binaan Rama Pandita S. Sastrosudharmo dari Wirosari, Rama Pramana dari Salatiga, dan beberapa sesepuh dari Kota Semarang. Agama Buddha trubus bersemi di beberapa wilayah kecamatan. Maka kemudian, sejak tahun 1950-an, sudah banyak warga Grobogan dari berbagai kalangan memeluk agama Buddha. Para upāsaka-upāsikā kemudian mendirikan wihara yang tersebar di Kecamatan Tegawanu, Kecamatan Ngaringan, dan Kecamatan Kedungjati.
Pembinaan adalah Tanggungjawab Bersama
Dari sekitar 8 wihara yang ada di Grobogan, 4 wihara di Kecamatan Ngaringan terbilang cukup bagus pembinaannya. Hal ini tampak dari upāsaka-upāsikā yang telah mapan membangun kebudayaan bercorak Buddhisnya secara proaktif. Namun sayang, ada satu wihara di Kecamatan Ngaringan yang pemeluknya telah habis.
Sementara satu wihara di Kecamatan Tegawanu, tepatnya di Desa Tegawanu Wetan harus segera mendapat pembinaan dan pendampingan. Ini karena jumlah upāsaka-upāsikā terus menyusut tak sampai 20 orang yang rajin puja bakti. Di Desa Tlagareja, Tegawanu, meski jumlah upāsaka-upāsikā hanya sekitar 22 KK atau tak sampai 50 jiwa, agama Buddha cukup bertahan. Hal ini bisa dilihat dari adanya kegiatan sekolah minggu bagi anak-anak dan terdapatnya beberapa remaja dan pemuda Buddhis.
Meski menghadapi “ancaman” penyusutan jumlah pemeluk Buddha yang “lompat pagar” karena perkawinan. Dua wihara di Kecamatan Tegawanu itu terus membuka diri untuk mempersiapkan pergantian generasi. Artinya, kedua sesepuh wihara mau dan selalu terbuka dengan kehadiran saudara Sedharma dari manapun berasal.
“Kunci wihara dipegang beberapa orang, laporan dana apapun selalu terbuka, tidak ada yang ditutup-tutupi Mas. Hal penting yang kami nantikan adalah pembinaan Dharma untuk meningkatkan saddhā. Bukan semata-mata bantuan dana saja”, ujar seorang upāsikā yang ajeg mengikuti puja bakti di kedua wihara tersebut. Penjelasannya adalah gambaran api semangat pemeluk Buddha di Tegawanu yang tulus, jujur, dan apa-adanya.
Krenteg Ati atau Semangat Mulai Dari Dalam Diri Sendiri
Semangat dan harapan menyala-nyala akan lestarinya Dharma di bumi Grobog Pusaka Wilwatikta itu tergambar juga saat menyambut sejumlah rombongan tamu pada hari Minggu (31/05/2020). Sejumlah tokoh himpunan pandita (menurut penulis, kata himpunan atau parisadha lebih tepat daripada kata majelis yang artikulasinya sangat berbeda secara Buddhis) bertandang ke Tegawanu.
Dengan didampingi Pembimas Buddha, Kanwil Kemenag Provinsi Jawa Tengah, Sutarso dan Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Jawa Tengah, H. Taslan Taslim. Para pemeluk Buddha di dua wihara di Tegawanu ini menyambut dengan sukacita perhatian dari saudara sedharma dan saudara lintas agama.
Dalam kunjungan tersebut, sempat dilakukan penyerahan bantuan berupa sembako sebagai wujud tali asih sekaligus sedikit bantuan untuk mengatasi dampak Covid-19. Kegiatan yang dilakukan atas gagasan perwakilan Paguyuban upāsaka-upāsikā Jawa Tengah itu didukung sejumlah dermawan dari Semarang dan Jakarta. Dana yang disalurkan dan kunjungan itu adalah puñña-kiriya (jasa kebajikan) para dermawan agar saudara-saudari Sedharma di pedalaman desa tidak merasa sendirian. Sebenarnya, saudara Sedharma di luar daerah tetaplah perhatian dan peduli. Namun karena keterbatasan waktu dan tenaga, tidak setiap hari pendampingan ke desa-desa bisa dilakukan.
“Dharma itu terkait dengan rasa atau dalam bahasa Jawa krenteg ati. Saya melihat semangat besar untuk tetap memeluk Buddha Dharma di Tegawanu. Ibarat orang sehat atau sakit, semua hal diawali dari pikirannya sendiri. Di Tegawanu saya melihat ada krenteg ati atau kemauan dari para warga Buddha sendiri untuk bangkit bergerak mempertahankan Buddha Dharma”, ungkap Pak Rusdi, salah satu dermawan peserta rombongan Minggu siang itu.
Selain kunjungan di dua wihara di Kecamatan Tegawanu, rombongan yang terdiri 11 orang dari berbagai lintas himpunan pandita itu juga mengunjungi upāsaka-upāsikā di Desa Prigi, Kecamatan Kedungjati. Meski terletak sangat jauh dan terpencil di pedalaman hutan. Upāsaka-upāsikā binaan mendiang Rama Pramana dari Salatiga terlihat sangat semarak dan begitu hidup.
Geliat kebudayaan Buddhis sangat terasa dan benar-benar cukup maju. Padahal, untuk mencapai desa ini, diperlukan waktu lebih dari satu jam menempuh jalanan setapak bebatuan yang cukup sulit dan licin sejauh 14 KM. Jalan yang melewati perbukitan dan hutan itu hingga zaman internet ini belum ada lampu penerangan jalan. Tidak ada satu pun rumah atau sekedar gubug untuk berteduh ketika hujan. Jangankan seorang tukang tambal ban, bahkan berpapasan dengan sebuah sepeda motor atau mobil saja sudah keajaiban.
Prigi, Tetangga “Desa Tarzan” yang Semangatnya Menyala-Nyala
Meski secara guyonan bisa dibilang Desa Prigi lebih terpencil dari desa tempat tinggal “Tarzan Si Raja Hutan” dalam novel karya Edgar Rice Burroughs, tahun 1912. Namun di Desa Prigi telah lahir banyak pembabar Dharma yang bergelut dan mengabdi di bidang masing-masing. Ada yang menjadi ASN di lingkungan Bimas Buddha, ada yang menjadi guru agama Buddha, Abdi Dhamma di Yayasan Ehipassiko, dan sebagainya.
Uniknya, meski banyak warga Buddha yang telah berhasil karirnya dan tinggal di perantauan. Mereka tidak lupa untuk tetap mengunjungi dan memberikan perhatian kepada saudara-saudarinya di desa. Dengan kata lain, meski terselip di tempat terpencil di tengah lebatnya hutan rimba Kedungjati. Para upāsaka-upāsikā di Desa Prigi sungguh telah menemukan jatidirinya sendiri. Mereka menyadari bahwa maju-mundurnya agama Buddha, sangat bergantung dari kemauan dan keterbukaan para pemeluknya.
Seperti disampaikan Elly saddhā, seorang pemuda berpikiran maju yang mau menjemput bola dengan menempuh kuliah di STAB Raden Wijaya Wonogiri (sebenarnya dalam jejak literasi dan bukti artefak, tidak pernah ada raja Wilwatikta-Majapahit yang bergelar raden–Pen).
“Sepertinya upāsaka-upāsikā di Desa Prigi sadar penuh, bahwa jumlah bhikkhu anggota sangha dan pandita sangatlah sedikit dan terbatas. Terlebih jumlah ASN dan guru agama Buddha di lingkungan Bimas Buddha. Tentu mereka mempunyai tugas dan tanggungjawab sendiri yang tak kalah berat dan kompleksnya. Kalau masalah ekonomi, saya kira sama Mas. Di semua desa yang pernah saya kunjungi, pemeluk Buddha sangat terbatas ekonominya. Maka daripada njagakke pembinaan dari luar atau menunggu bola. Upāsaka-upāsikā di Desa Prigi lebih suka menjemput bola demi merubah keadaan. Hal ini tampak dari keseriusan sejumlah anak-anak muda yang mau sekolah di beberapa Perguruan Tinggi Agama Buddha. Salah satu pemuda yang hebat pengabdiannya adalah Mbak Hesti”, ujar Elly saddhā yang juga sempat mengikuti latihan samanera sebanyak dua kali.
Prigi, Berbatasan dengan Desa Candirejo, Pringapus
Semangat upāsaka-upāsikā di Desa Prigi, Kedungjati, Grobogan berbanding terbalik dengan keadaan di Desa Candirejo, Pringapus, Kabupaten Semarang. Meski berbeda kabupaten, namun kedua desa tersebut berbatasan.
Desa Prigi dapat dianggap lebih “primitif” dari Desa Candirejo. Namun semangat pemeluk Buddha-nya tak kalah dengan warga Candirejo yang terbilang lebih kota dan tersentuh peradaban jalanan aspal. Kehidupan ekonominya pun terbilang cukup maju, karena banyak pabrik dan pasar-pertokoan.
Meskipun demikian, satu-satunya wihara di Desa Candirejo bisa dikatakan hampir punah. Hal ini bukan karena tidak ada perhatian dari saudara-saudari Sedharma dari luar daerah. Namun karena sudah tidak ada lagi nafas agama Buddha di dalam wiharanya.
“Kunci wihara hanya dipegang oleh satu orang saja. Ia pun tidak ada kemauan untuk mengajak atau memberi contoh melakukan puja bakti bersama umat yang tersisa. Atau paling tidak mengajak anak cucunya dan umat terdekat dari wihara”, ungkap seorang Dutta Dharma dari kecamatan lain di Kabupaten Semarang yang tak berkenan disebut namanya.
Informasi di atas kurang lebih sama dengan yang dijumpai Badrasanti.or.id. Alih-alih berusaha mengumpulkan upāsaka-upāsikā yang tersisa untuk puja bakti bersama di wihara. Atau berusaha entah bagaimana caranya mencari dan merangkul anak muda untuk membantu kegiatan wihara. Salah satu sesepuh malah berujar, “Semoga tahun depan kami bisa menyelenggarakan Waisak Bersama Se-Kabupaten Semarang. Nanti bisa hadir lebih dari 2000 umat Buddha. Namun kendala kita ya itu mas, dana”, ujarnya melalui pesan Whatsupp kepada Badrasanti.or.id.
Ungkapan ini jelas tidak mencerminkan api semangat Dharma sama sekali. Padahal, baru-baru ini pengurus Majelis Buddhayana Indonesia, Kabupaten Semarang sudah hadir mengunjungi. Juga beberapa perwakilan dari paguyuban upāsaka-upāsikā di Semarang sempat hadir. Bahkan ketika Penyuluh Agama Buddha setempat hendak hadir, malah urung karena diberitakan oleh perwakilan sesepuh Wihara, bahwa akses jalan ditutup karena Covid-19.
Darmagandul Gondal-Gandul
Kenyataan yang terjadi di Desa Candirejo, Pringapus agaknya dapat mewakili gambaran keadaan di akhir Wilwatikta. Peristiwa penyerangan Demak terhadap Wilwatikta seperti ditulis di depan bukanlah peristiwa perang antar agama. Tetapi hanyalah peristiwa suksesi politik biasa yang kebetulan dikisahkan lebay oleh sastra Jawa di era jauh kemudian.
Darmagandul misalnya, menggabarkan ramalan “Sabdo palon naya genggong nagih janji agama Budi setelah 500 tahun”. Namun nyatanya, pemeluk Buddha, khususnya dari para pemuda Buddhis yang katanya punya “hak tagih”. Malah banyak yang tidak greget gagah ksatria. Masih saja dijumpai pemuda Buddhis di berbagai daerah yang klemprag-klempreg plola-plolo banyak alasan. Artinya, sastra Jawa ini bukannya mengajarkan pemeluk Buddha untuk berusaha bangkit. Tetapi malah mengajarkan mencari dan menyalahkan kambing hitam alias berpangku tangan menunggu perubahan zaman.
Kembali ke Desa Candirejo, Pringapus, selain terlihat manja dan nggampangke masalah, bila dibandingkan dengan upāsaka-upāsikā dari Desa Prigi. Keinginan mengadakan Perayaan Waisak Se-Kabupaten Semarang agaknya justru akan lebih cepat mengubur nasib upāsaka-upāsikā di Desa Candirejo. Sebab mengumpulkan 10 orang untuk puja bakti ajeg saja tidak pernah, tidak mau, dan selalu banyak alasan (Hal ini sudah terjadi jauh sebelum ada pademi Covid-19). Tetapi malah bermimpi mengundang banyak orang dari luar untuk datang.
Kalau sudah begini, malaslah upāsaka-upāsikā dari luar desa untuk datang. Bahkan para Dewa yang sakti mandraguna sekalipun emoh turun hadir meski jagad alam dewa diserbu virus korona. Paling banter para Dewa hanya bisa mengucapkan, “Selamat tinggal agama Buddha di Desa Candirejo. Namamu hanya tersisa di dalam ingatan abu sejarah saja. Semoga lekas hadir Eyang Sabdo Palon Naya Genggong Nagih Janji Gondal-Gandul Gombal. Atau kalau mau sabar, silakan menunggu pertolongan dari Transformers, Doraemon, Hello Kitty, atau Spiderman, dan kawan-kawan. Daa…daa…”.
Penulis: Dhammateja W.
Foto: Istimewa
3 Comments
Ely sada
Semoga Buddha Dharma semakin lestari. Baik ajaran maupun praktiknya dalam kehidupan sehari-hari
Cherly Cindi Marita
Semoga ajaran Buddha selalu jaya, dan selalu dipraktikan dalam sehari hari
Eka Ratana Candra
Sadhu.. sadhu.. sadhu..