Liputan

Batik STAB Syailendra, Hampir Njawil Putri Campa (1)

“…Bi Nang Un adalah seorang Campa (daerah Indochina, sekitar Vietnam, Kamboja Laos yang waktu itu menjadi bagian wilayah kekaisaran Dinasti Ming). Istri nahkoda itu, Putri Na Li Ni, dikisahkan yang selanjutnya membawa seni batik ke Lasem”, Kompas (Sabtu, 13 September 2008).

(Bagian 1 dari 2 tulisan bersambung, dalam rangka mendukung Program Pengabdian Masyarakat STAB Syailendra)

Artikel seperti ditayangkan Kompas di atas, yang mengulas tentang asal-usul batik. Barangkali sudah puluhan, bahkan mungkin ratusan kali disuguhkan media massa mainstream lainnya. Juga yang menjadi sumber rujukan penelitian ilmiah mahasiswa, dari strata satu hingga doktoral. Terlebih postingan viral di media sosial. Keterangan yang menyebutkan, bahwa salah satu rujukan tertua sejarah batik yang pernah ada, bersumber dari Sastra Buddha bercorak Jawa pesisir, Sabda Badra Santi.

Bukan hanya batik, namun juga tentang sejarah gamelan, seni tari, pathet Lasem dalam pertunjukan wayang kulit, wayang golek, hingga ketoprak andhe-andhe lumut. Bahkan gambaran tentang Majapahit sebagai negeri agraris berbasis maritim perdagangan . Dengan dukungan angkatan laut yang besar dan menggetarkan tentara negara tetangga. Serta suburnya geliat ekonomi kerakyatan yang didukung selarasnya penduduk pendatang dari China dan Jawa. Semuanya tertuang gamblang pada tinggalan karya sastra yang ditulis Mpu Santi Badra pada tahun 1479 M.

Penggerak Ekonomi Kerakyatan
Sabda Badra Santi adalah satu dari 17 judul sastra jawa pesisir utara bercorak Buddhis. Koleksi sastra itu bukan hanya berisi tembang dan seni budaya saja. Namun juga memuat kandungan ilmu pengetahuan dan teknologi di era Majapahit, juga kebudayaan Jawa sejak era prasejarah. Serta upaya penyelamatannya oleh warga pesisir utara, terutama para sanak turun Tejakusuman. Satu di antaranya adalah Pandita Raden Panji T. Hadidarsana. Ia adalah salah satu pendiri Wihara Tanah Putih, sekaligus pendiri organisasi Buddhis Indonesia dan menjabat sebagai Ketua I Pengurus Pusat. Seperti diketahui kemudian, Buddhis Indonesia kelak berlanjut-terkait paut dengan berdirinya Mapanbudhi (sekarang Magabudhi). Dimana beberapa pandita dari Buddhis Indonesia, pada 23 Oktober 1976, mendorong lahirnya Sangha Theravada Indonesia. 

Dalam otobiografi yang ditulisnya mulai tahun 1992, Hadidarasana menggabarkan kisah masa kanak-kanaknya hingga remaja di Lasem. Sebelum ia dan keluarga boyongan pindah ke Kudus, dari sebelum Indonesia Merdeka, hingga tahun 1974. Ibunya yang bernama Raden Ayu Kasmah, adalah pembatik tradisional Jawa yang tinggal di Desa Karangturi, Lasem. Pada sekitar awal abad, Kasmah dan ibu-ibu lainnya, menambah penghasilan keluarga dengan membatik.  Ada yang membantik secara mandiri untuk dikenakan sendiri atau dijual. Ada juga yang ikut juragan Tionghoa sebagai buruh batik tulis Lasem, dan mendapat upah dari pekerjaannya.

Selain itu, ayah Kasmah, yang bernama Raden Panji Karsono atau yang dikenal sebagai “Mbah Modin” (namun bukan pemeluk Islam). Telah berjasa besar mewariskan sejumlah pustaka bercorak Buddhis. Pustaka itu dibawa Hadidarsana, anak pertama Kasmah, ke Kudus. Lalu, berkat dukungan Pandita Ramadharma S. Reksowardojo. Sahabat Hadidarsana yang menjabat sebagai Ketua Pengurus Daerah Buddhis Indonesia Provinsi Jawa Tengah. Badra Santi berhasil diterjemahkan, disusun ulang, dan terbit pada tahun 1967 dan 1985.

Corak Widyarini Selangsang
Dari dua terbitan buku Badra Santi itulah kemudian, Kompas dan media massa lain. Serta banyak peneliti dan jurnalis, mengambil rujukan asal mula batik tulis pesisir. Dari Badra Santi, diketahui pula corak batik Lasem yang keberadaannya sudah langka. Namanya Widyarini Selangsang. Corak batik corek melati putih, yang dulu dikenakan hanya untuk upacara adat dan puja bakti hari-hari suci Buddhis.

Pada perkembangan berikutnya, corak batik tulis pesisir dipengaruhi harmoni Jawa-Tionghoa, dan Islam-Buddha. Hasilnya, muncul perpaduan beragam gambar flora fauna dengan warna dominan merah, atau dikenal “abang getih pithik”. Secara umum, ada dua ragam corak batik Lasem. Yaitu corak Tionghoa seperti  Burung Hong (Lok Can), Naga, Kilin, Ayam Hutan, dan sebagainya. Untuk corak Jawa ada Sekar Jagad, Kendoro Kendiri, Grinsing, Kricak atau Watu Pecah, Pasiran, dan sebagainya.

Kini, batik tulis Lasem tumbuh menggeliat menghidupi ekonomi kerakyatan di Lasem. Mulai dari batik rumahan, sampai model massal yang dikelola para juragan. Rata-rata masih dikerjakan secara tradisional, dan masing-masing beradu rahasia ramuan warna dan corak. Hanya saja, cukup disayangkan bahwa masyarakat Buddhis di pesisir utara, belum banyak tersentuh tradisi budaya membatik tulis. Selain minimnya pelatihan, warga Buddha belum banyak yang mau membaca dan atau mendengar literasi sejarah nenek moyangnya sendiri. Sehingga tidak mengetahui, bahwa batik tulis itu pernah dikembangkan masyarakat Buddhis di masa lampau.

Pemandangan Pelabuhan Bi Nang Un di Lasem. Sekarang bernama Pantai Bonang.
Pemandangan Pelabuhan Bi Nang Un di Lasem.
Sekarang bernama Pantai Bonang.

Leluhur Budaya Buddhis Pesisir
Bi Nang Un adalah dhang puhawang–nahkoda, sekaligus saudagar dari Campa yang mendarat di Lasem pada tahun 1413 M. Setahun sebelumnya, ia mengikuti rombongan muhibah kapal Cheng Ho ke Jawa, dan meminta izin tak mengikuti muhibah lagi. Setelah berkenalan dengan Adipati Lasem Wijaya Badra yang masih cucu dari Dewi Indu Purnama Wulan-Adinda putri Prabhu Hayam Wuruk. Bi Nang Un diperkenankan tinggal menetap di Jawa bersama keluarganya dari Campa. Selain Na Li Ni, istri Bi Nang Un, dua anak mereka Bi Nang Na (putra) dan Bi Nang Ti (putri) juga turut boyongan pindahan.

Putri Bi Nang Ti di kemudian hari menjadi istri putra Adipati Wijaya Badra yang bernama Badra Nala. Perkawinan mereka dikaruniai dua putra, Wira Bajra dan Mpu Santi Badra (ayah Sunan Kalijaga). Bi Nang Ti turut mendukung ibunya mengembangkan ekonomi kerakyatan dengan menularkan berbagai seni budaya dari Campa, salah satunya batik tulis.

Kelak sesudah sepuh, Putri Bi Nang Ti menjadi wikuni bernama Kumudhawardani. Setelah wafat dan diperabukan, ia dicandikan di bukit Bi Nang Un, yang kini lebih dikenal dengan nama Bonang. Berdasarkan narasi dalam sejumlah karya “Mbah Guru” atau “Pujangga Argasoka”. Karena campur tangan VOC Belanda pascaperang Lasem, punden abu Wikuni Kumudhawardani berubah sebutan nama menjadi “Makam Putri Campa”, dan dibiaskan dengan narasi kisah lain.

Lalu baru-baru ini, sejumlah wanita Buddhis di pesisir utara baru saja mengikuti pelatihan batik di bawah bimbingan STAB Syailendra. Apakah pelatihannya sudah njawil tradisi batik tulis Putri Campa? Bersambung…

Penulis: Gusti Ayu Rus Kartiko
Editor : Dhammatejo W.

Share it!
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  
  •  

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *